Sabtu, 04 Februari 2017

Ahlus Sunnah Bukan Shufiyyah (Pertemuan 100)

Pembaca yang baik hati, sebelum penulis menyebutkan perbedaan antara ahlus-sunnah dan shufiyyah, ada baiknya penulis menyebutkan terlebih dahulu 25 keyakinan ahlus-sunnah, semoga pembaca dapat mengoreksi apakah bersesuaian ataukah bertolak belakang dengan keyakinan-keyakinan pembaca:

25 KEYAKINAN AHLUS-SUNNAH
1. Ahlus-Sunnah mengambil 'aqidah hanya terbatas dari dua sumber, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang tentunya dengan pemahaman As-Salafush-Shalih. As-Sunnah di sini mencakup hadits shahih dan hasan, baik yang diriwayatkan secara mutawatir maupun melalui satu jalur periwayatan, atau yang dikenal dengan istilah hadits ahad. Adapun As-Salafush-Shalih mencakup para shahabat radhiyallahu 'anhum, tabi'in dan tabi't-tabi'in rahimahumullah.
2. Tidak menjadikan mimpi selain mimpi para nabi 'alaihimus-salam sebagai wahyu. Karena tidak ada selain nabi yang mendapatkan wahyu. Adapun ilham, selama ia tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka sah-sah saja untuk dilaksanakan, sebagaimana 'Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu yang mendapat ilham untuk memundurkan maqam Ibrahim yang sebelumnya menempel di ka'bah agar orang yang shalat di hadapannya tidak menghadang orang yang thawwaf.
3. Meyakini bahwa ruh Nabi Adam ,'Isa dan Muhammad 'alaihimush-shalatu was-salam sebagai makhluk, ruh terbaik dari ruh-ruh yang Allah Ta'ala ciptakan.
4. Meyakini bahwa Nabi Adam 'alaihis-salam sebagai manusia pertama yang Allah Ta'ala ciptakan, yang otomatis ruh manusia yang pertama kali diciptakan adalah ruh Nabi Adam, bukan ruh Nabi Muhammad 'alaihimash-shalatu was-salam.
5. Meyakini bahwa kalimat yang disampaikan kepada Nabi 'Isa 'alaihis-salam adalah kalimat "kun" (jadilah). Bukan firman Allah Ta'ala yang berubah menjadi manusia.
6. Meyakini bahwa al-jannah (surga) adalah tempat yang penuh kenikmatan, yang kenikmatannya itu mencakup kenikmatan nafsiyyah (jiwa), qalbiyyah (hati) dan jasadiyyah badaniyyah (jasad badan).
7. Meyakini bahwa an-nar (neraka) adalah tempat siksaan yang siksaannya itu mencakup siksaan nafsiyyah, qalbiyyah dan jasadiyyah badaniyyah.
8. Meyakini bahwa huriyyah (bidadari) itu akan dijadikan istri untuk lelaki penghuni al-jannah yang bisa dinikmati secara nafsiyyah, qalbiyyah, jasadiyyah badaniyyah.
9. Memaknai kalimat La ilaaha illallaah adalah Laa ma'buuda bihaqqin illallaah (Tiada yang berhak di'ibadahi kecuali Allah). Karena ilah artinya "yang di'ibadahi", sementara "berhak" lantaran hanya Allah Ta'ala lah ilah yang haqq, sedangkan ilah-ilah selain-Nya adalah bathil.
10. Meyakini bahwa ber'ibadah kepada Allah Ta'ala karena didorong oleh rasa mahabbah (cinta), khauf (takut) dan raja' (harap).
11. Meyakini bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Ta'ala, dan Dia bersemayam di atas 'arsy, 'arsy-Nya di atas air, air tersebut di atas kursi, kursi itu tempat Dia meletakkan telapak kaki-Nya, dan kursi tersebut di atas langit yang ketujuh. Ini sebagai bantahan bagi orang yang menyatakan bahwa Allah Ta'ala berada di mana-mana atau bantahan bagi orang yang menyatakan bahwa Allah Ta'ala berada di atas 'arsy namun dia tidak tahu 'arsy itu di mana, apakah di langit ataukah di bumi.
12. Meyakini bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Ta'ala, dan Dia menciptakan Nabi Adam 'alaihis-salam dengan kedua tangan-Nya. Kedua tangan Allah terbentang, Dia melimpahkan rezeki kepada makhluk-makhluk-Nya, ini sebagai bantahan bagi orang yahudi yang menyatakan bahwa tangan Allah terbelenggu yakni pelit dalam memberi rezeki.
13. Meyakini bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Ta'ala, dan Dia berbicara langsung kepada Nabi Musa 'alaihi-salam. Karena Allah Ta'ala disifatkan dengan berbicara, sementara patung-patung disifatkan dengan bisu, ilah -ilah yang bisu tidak layak dijadikan ilah.
14. Meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah (perkataan Allah) bukan makhluk, di mana perkataan Allah itu tersimpan di lauh mahfuzh, yang tertulis di atas lembaran-lembaran kitab, yang dibaca, didengar dan dihafal oleh manusia.
15. Meyakini bahwa takdir Allah Ta'ala sudah ditetapkan dan tidak bisa diubah. Allah Ta'ala tidak mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri-diri mereka dan memudahkan mereka mencapai takdirnya masing-masing. Oleh karenanya tidak diperkenankan bagi seorang hamba untuk menyerah pada takdir sehingga meninggalkan 'amal.
16. Meyakini bahwa tidak ada manusia setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diutus bisa keluar dari syari'at beliau, sebagaimana Nabi Khidhir bisa keluar dari syari'at Nabi Musa 'alaihimas-salam.
17. Meyakini bahwa sihir yang di antaranya santet (memisahkan dua orang yang bersatu) maupun pelet (menyatukan dua orang yang terpisah) adalah kufur besar, yang dapat membatalkan keislaman seseorang.
18. Meyakini bahwa tidak bolehnya menjadikan makhluq ghaib sebagai perantara dalam ber'ibadah kepada Allah Ta'ala. Makhluk ghaib di sini seperti malaikat dan jin serta roh manusia. Termasuk kategori ghaib apabila seseorang tidak hadir yang dalam keadaan dia tidak mengetahui apa yang diminta oleh orang yang meminta.
19. Meyakini bahwa tidak bolehnya beri'tikaf di kuburan, thawwaf atau mencari berkah di sana. Karena beri'tikafnya lelaki di mesjid dan beri'tikafnya perempuan di rumah. Adapun thawwaf maka tempatnya hanyalah ka'bah, sedangkan mencari berkah maka kuburan bukan difungsikan untuk itu, karena menziarahi kuburan hanyalah agar manusia ingat akan mati sambil menyampaikan salam buat ahli kubur dan mendo'akan ampunan dan syafa'at buat mereka, itu sebenarnya yang dibutuhkan oleh ahli kubur, bukan malah berdo'a (meminta) kepada mereka dan bukan pula malah menyuruh mereka agar menyampaikan do'a peziarah kepada Allah Ta'ala.
20. Meyakini bahwa tawassul yang disyari'atkan adalah tawassul dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta'ala, dengan sebab kalimat tauhid, dengan adanya keimanan, dengan dilakukannya amal shalih dan dengan ditinggalkannya maksiat.
21. Meyakini bahwa selain dari Allah Ta'ala tidak ada yang mengetahui perkara-perkara ghaib yang di antaranya kejadian yang akan datang, baik itu malaikat maupun nabi. Jika malaikat dan nabi saja tidak mengetahui perkara-perkara ghaib apalagi wali, apalagi paranormal. Malaikat dan nabi mengetahui perkara-perkara ghaib adalah setelah diberitahu oleh Allah Ta'ala.
22. Mengakui bahwa perkara ibadah seperti shalat, zakat, shaum, haji dan yang semisalnya termasuk tauqifiyyah (kesepakatan) yakni berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Adapun ijma' maka ia dijamin keshahihannya karena tidaklah Allah Ta'ala menghimpun ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di atas kesesatan. Sementara qiyash tidak digunakan kecuali dalam keadaan terdesak.
23. Mengakui bahwa iman itu harus diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Iman itu bisa bertambah dan berkurang, bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kemaksiatan.
24. Mengakui bahwa manusia terbaik setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sesuai dengan urutan al-khulafa'ur-rasyidin, yaitu dimulai dari Abu Bakr, kemudian 'Umar, kemudian 'Utsman, kemudian 'Ali radhiyallahu 'anhum. Adapun Mu'awiyyah radhiyallahu 'anhu merupakan raja pertama dalam Islam yang terbaik di dunia.
25. Mengakui bahwa Imam Mahdi itu dari jalur keturunan Hasan bin 'Ali radhiyallahu 'anhuma. Ini sebagai bantahan bagi kaum rafidhah yang menyatakan Imam Mahdi dari jalur keturunan Husain bin 'Ali radhiyallahu 'anhuma.

BAGAIMANA AGAR ALLAH TA'ALA MENCINTA HAMBA-NYA?

Baiklah, sekarang kita baca dua kalimat berikut:
1). Cinta kepada Allah Ta'ala adalah cinta kepada Dzat-Nya (Allah Ta'ala sendiri), tidak karena kebaikan-Nya, seperti menyelamatkan hamba-Nya dari an-nar dan memasukkannya ke dalam al-jannah.
2). Jika Allah Ta'ala telah mencintai hamba-Nya, maka Allah Ta'ala akan menyelamatkannya dari an-nar dan memasukkannya ke dalam al-jannah.

Dalam hal ini, Allah Ta'ala mengatakan:
قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله و يغفر لكم ذنوبكم والله غفور رحيم
"Katakanlah (wahai Muhammad kepada ummatmu): Jika memang kalian cinta kepada Allah maka turutilah aku, niscaya Allah akan cinta pula kepada kalian, dan akan mengampuni dosa-dosa kalian, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Ali 'Imran: 31)

Yakni:
Wujud dari cinta kepada Allah Ta'ala adalah kembali kepada syari'at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di mana Al-Qur'an dijelaskan oleh As-Sunnah, sedangkan As-Sunnah sendiri adalah Al-Hadits yang tercakup di dalamnya 3 hal: perkataan, perbuatan dan persetujuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

SYA'IR RAB'IAH AL-ADAWIYYAH DAN BERIKUT BANTAHANNYA

Berkata seorang shufi yang bernama Rabi'ah Al-Adawiyyah:
1). "Ya Ilahi, jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka, maka bakarlah aku dengan neraka-Mu.
2). Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya.
3). Tetapi jika aku beribadah kepada Engkau karena semata-mata kecintaanku kepada-Mu, maka janganlah, ya Ilahi, Engkau haramkan aku melihat keindahan-Mu yang azali".

Apabila perkataan tadi ditinjau secara zhahir (harfiyyah) maka Rabi'ah Al-Adawiyyah ini benar-benar ingin mencintai Allah Ta'ala semata, sehingga dia menghilangkan dua syari'at yaitu khauf dari an-nar dan raja' terhadap al-jannah, yakni meniadakan takut dari neraka dan meniadakan pula harap terhadap surga. (Diharapkan bagi pembaca untuk benar-benar memahami paragraf ini sebelum lanjut ke paragraf berikutnya)

Dari sinilah kaum shufi tertipu dalam membedakan antara cinta, takut dan harap. Memang cinta kepada Allah itu adalah cinta kepada Dzat-Nya, namun manusia juga disuruh oleh Allah Ta'ala untuk takut dari neraka dan harap terhadap surga.

Allah Ta'ala mengatakan tentang takut dari neraka:
واتقوا النار التي أعدت للكافرين
"Dan takutlah kalian dari neraka yang telah disediakan untuk orang-orang kafir" (QS. Ali 'Imran: 131)

Allah Ta'ala menceritakan tentang do'a Nabi Ibrahim 'alahis-salam yang mengharap surga:
واجعلني من ورثة جنة النعيم
"Dan jadikanlah aku orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan" (QS. Asy-Syura: 85)

Berkata sebagian ulama salaf:
1). Barangsiapa beribadah kepada Allah karena didorong rasa cinta saja, maka dia seorang zindiq (munafiq)
2). Barangsiapa beribadah kepada Allah karena didorong rasa takut saja, maka dia seorang haruri (khawarij)
3). Barangsiapa beribadah kepada Allah karena didorong rasa harap saja, maka dia seorang murji' (murji'ah).
4). Barangsiapa beribadah kepada Allah karena didorong rasa cinta, takut dan harap, maka dia seorang mu'min muwahhid (ahli tauhid) (Lihat Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah)

DALIL-DALIL KHAUF

Berikut ini dalil-dalil tentang khauf (takut) kepada Allah Ta'ala dan takut pula dari neraka-Nya:

Allah Ta'ala memerintahkan kepada hamba-Nya untuk takut hanya pada-Nya:
إنما ذالكم الشيطان يخوف أولياءه فلا تخافوهم و خافون إن كنتم مؤمنين
"Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaithan yang menakut-nakuti (kalian) dengan kawan-kawannya, maka janganlah kalian takut kepada mereka, tapi takutlah kalian hanya kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman" (QS. Ali 'Imran: 175)

Dan dalam ayat lainnya:
و إياي فارهبون
"Hanya kepada-Ku lah kalian harus takut" (QS. Al-Baqarah: 40)

Allah Ta'ala memerintahkan agar hamba-Nya takut terhadap neraka:
واتقوا النار التي أعدت للكافرين
"Dan takutlah kalian dari neraka yang telah disiapkan untuk orang-orang kafir" (QS. Ali 'Imran: 131)

Allah Ta'ala menyebutkan tentang do'anya ulul-albab (orang-orang yang berakal):
سبحانك فقنا عذاب النار
"...Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari siksa neraka" (QS. Ali 'Imran: 191)

(Telah diulas pada pertemuan 71: Membantah Tidak Takut Neraka), mari lihat kembali apa yang dikatakan oleh Rabi'ah Al-Adawiyyah: "Ya Ilahi, jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka, maka bakarlah aku dengan neraka-Mu". Coba adu dengan ayat ini: "Dan takutlah kalian dari neraka yang telah disiapkan untuk orang-orang kafir" (QS. Ali 'Imran: 131) dan adu dengan do'a Nabi Ibrahim 'alaihis-salam: "...Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari siksa neraka" (QS. Ali 'Imran: 191).

DALIL-DALIL RAJA'

Di bawah ini dalil raghbah (harap) dan rahbah (cemas):

Allah Ta'ala memuji Nabi Zakaria dan juga Nabi Yahya 'alaihimas-salam:
إنهم كانوا يسارعون في الخيرات ويدعوننا رغبا و رهبا و كانوا لنا خاشعون
"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdo'a kepada kami dengan harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami" (QS. Al-Anbiya': 90)

Mari lihat kembali perkataan Rabi'ah Al-Adawiyyah: "Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya". Coba adu dengan do'a Nabi Ibrahim 'alaihis-salam: "Dan jadikanlah aku orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan" (QS. Asy-Syura: 85).

PERBEDAAN ANTARA AHLUS-SUNNAH DAN SHUFIYYAH

Sebagian kaum shufi membantah kalau dirinya tidak takut neraka dan tidak mengharapkan surga. Mereka menjelaskan bantahannya itu dengan logika mereka. Ini tidak aneh, karena sumber pengambilan 'aqidah mereka di samping Al-Qur'an dan As-Sunnah juga akal sehat, bahkan jika ada dalil baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah yang bertentangan dengan akal sehat mereka, maka akal sehatlah yang menang, sementara dalil harus tunduk kepada akal sehat, ini sesuai dengan hadits munkar palsu yang mengatakan bahwa: "akal adalah agama, maka barangsiapa yang tidak menggunakan akalnya maka tidak ada agama baginya" (Hadits Munkar Palsu Riwayat Ahli Akal). Seandainya kesalahan shufiyyah cuma ini, maka sudah lebih dari cukup untuk sebagai bukti bahwa shufiyyah itu melenceng dari al-haqq.

Kaum shufi membagi dinul-Islam menjadi 4 tingkatan, yaitu syari'at, hakikat, tariqat, ma'rifat. Di mana bagi mereka syari'at sebagai kulit, sedangkan intinya adalah tashawwuf. Ini sama saja kaum shufi itu mengaku lebih paham dinul-Islam dibandingkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat beliau radhiyallahu 'anhum. Sedangkan tidak ada satu imam hadits pun yang meriwayatkan tafsir ala tashawwuf dan tidak ada pula satu imam madzhab pun yang memakai metode tashawwuf dalam kaedah-kaedah fiqih mereka. Justru yang ada malah ilmu tashawwuf itu dibantah dengan keras oleh para imam hadits dan para imam madzhab. Pertanda apa ini? Seandainya cuma ini kesalahan tashawwuf maka sudah lebih dari cukup sebagai bukti untuk menyatakan bahwa shufi adalah aliran yang sangat jauh menyimpang dari jalan sunnah. Baiklah, adapun bantahan yang lainnya insya Allah bisa pembaca dapatkan dari berbagai artikel yang bertebaran di internet. Na'am sampai di sini, wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar