Selasa, 06 September 2016

Dituduh sebagai Mujassimah dan Musyabbihah, Ini Dia Bantahan Salafi (Pertemuan 36)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين
و الصلاة و السلام على أشرف الأنبياء والمرسلين
و على آله وصحبه أجمعين
أما بعد

Tulisan singkat ini sebagai bantahan kepada orang-orang yang menuduh Salafi sebagai Mujassimah dan Musyabbihah terhadap sifat-sifat Allah Ta'ala

Jism = jasmani atau tubuh
Tajsim = menyatakan bahwa sesuatu itu berjasmani atau mempunyai tubuh
Mujassim = orang yang melakukan tajsim
Mujassimah = suatu keyakinan dari seorang mujassim

Syibh = menyerupai atau menyamai
Tasybih = menyerupakan atau menyamakan antara sesuatu dengan yang lain
Musyabbih = orang yang melakukan tasybih
Musyabbihah = suatu keyakinan dari seorang musyabbih

Dalam perkara sifat-sifat Allah Ta'ala, Salafi menetapkan pembagiannya menjadi dua, yaitu dzatiyyah dan fi'liyyah.

Shifat dzatiyyah adalah sifat yang selalu melekat dengan Allah Ta'ala, seperti 'ilmu (pengetahuan).

Shifat fi'liyyah adalah sifat perbuatan yang menurut kehendak-Nya Dia lakukan dan menurut kehendak-Nya Dia tinggalkan, seperti nuzul (turunnya Allah Ta'ala ke langit dunia di sepertiga malam terakhir).

Salafi tidak ber'aqidah tajsim, yakni tidak menetapkan shifat jismiyyah, lantaran tidak ada dalil baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah yang menyebutkan perihal jism bagi Allah Ta'ala, adapun sifat wajah, dua tangan, dua mata, dua telinga, betis dan telapak kaki, Salafi memasukkannya ke dalam shifat dzatiyyah.

Salafi mengakui tafwidh (penyerahan) terhadap hakikat dari sifat-sifat Allah Ta'ala, yakni hanya Dia lah yang mengetahui kaifiyyahnya (bagaimana dan tata caranya), namun Salafi mentaqrir (menetapkan) sifat-sifat Allah Ta'ala itu secara makna saja.

Salafi tidak pula ber'aqidah tasybih, yakni tidak menyamakan sifat-sifat Allah Ta'ala dengan sifat-sifat makhluk Nya, lantaran tidak ada yang menyerupai Allah Ta'ala dalam sifat-sifat-Nya tersebut.

Sejatinya ahli ta'wil yang menuduh itulah yang ber'aqidah mujassimah dan musyabbihah.

Istilah ta'wil terhadap sifat-sifat Allah Ta'ala yang bisa diartikan dengan tafsir pada prakteknya adalah tahrif, yakni menyimpangkan suatu makna ke makna lain yang tidak bersesuaian.

Sebagai contoh, kalimat istiwa' (bersemayam) yang semestinya ditafsirkan dengan uluw, irtifa' dan fauqiyyah (atas, tinggi dan luhur), malah mereka ta'wil/ tahrif dengan istaula' (menguasai).

Mengapa mereka menta'wil? Mereka menta'wil karena mereka telah melewati suatu rentetan peristiwa sebagai berikut: Diawali dengan tamtsil/ tasybih (memisalkan, menyerupakan) kemudian ta'thil (meniadakan) kemudian ta'wil/ tahrif.

Ketika ahli ta'wil tadi melakukan tamtsil/ tasybih maka otomatis mereka melakukan tajsim, sehingga tidak berlebihan kalau kita bilang bahwa justru ahli ta'wil itulah yang sebenarnya berperan sebagai mujassimah dan musyabbihah. Ini ibarat menuduh orang lain sebagai maling padahal sebenarnya dirinyalah yang maling.

MANHAJ SALAF DALAM TAUHID ASMA' WA SHIFAT

1. Menetapkan al-asma'ul-husna (nama-nama Allah yang husna/ bagus), dan tidaklah ia disebut husna melainkan karena mengandung sifat-sifat yang maha sempurna.

2. Mensyari'atkan tawassul (berperantara) dengan menyebut nama-nama Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya sewaktu berdo'a kepada-Nya.

3. Menetapkan tauhid asma' wa shifat berdasarkan dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka ini merupakan tauqifiyyah (kesepakatan), di mana tidak ada medan untuk berijtihad dengan melakukan qiyash (pertimbangan) di dalamnya, sehingga tidak ada peluang bagi akal untuk ikut campur urusan ini.

4. Dalam tauhid asma' wa shifat tidak boleh dilakukan terhadapnya takyif (membagaimanakan/ bertanya bagaimana), tamtsil (memisalkan, menyontohkan), tasybih (menyerupakan, menyamakan), ta'thil (meniadakan, menghilangkan), ta'wil (menafsirkan secara qiyash), tahrif (menyimpangkan, membelokkan) dan tafwidh (menyerahkan, yakni dalam ma'na).

5. Salafi hanya mentafwidh hakikat dari sifat-sifat Allah Ta'ala, tapi tidak mentafwidh maknanya, lantaran maknanya sudah maklum. Sebagai contoh, makna wajah itu maklum tapi hakikatnya hanya Allah yang maha tahu.

6. Salafi berlepas diri dari tuduhan mujassimah dan musyabbihah. Sehingga Salafi tidak pernah menyebutkan bahwa Allah Ta'ala punya jism, melainkan menetapkan bahwa Dia adalah Dzat, yakni Dzat yang tiada tandingan dan tiada bandingannya.

7. Salafi meyakini bahwa Allah Ta'ala berada di atas langit, Dia bersemayan di atas 'Arasy, mengatur segala urusan dan Maha Tinggi di atas segenap makhluk. Ini sebagai tanda bahwa Allah Ta'ala memang wujud. Sementara ahli ta'wil mengingkari sifat ini, seakan-akan mereka mentasybih terhadap Allah Ta'ala dengan sesuatu yang tidak ada.


Ini gambar cincin permata zamrud, mahalnya batu permata tersebut tidak dinilai dari mana batu itu berasal, bukan karena Rusianya dan bukan pula karena Columbianya, tapi ia dinilai mahal karena kualitas keindahan warnanya, besar caratnya, cukup kejernihannya dan hasil asahannya.

Kebenaran seseorang tidak dinilai dari apakah dia sebagai habib alias zuriyat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak karena dia seorang anak bangsawan keturunan raja, dan tidak pula karena dia anak dari seorang yang kaya raya.

Kebenaran seseorang dinilai dari kejujurannya di dalam beragama, sehingga dia tidak mengutak-atik sesuatu yang sudah jelas hujjahnya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan dia senantiasa berada di atas prinsip as-salafush-shalih dalam pemahamannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar