Sabtu, 24 Desember 2016

Demokrasi di Mata Ahlus-Sunnah (Pertemuan 49)

Secara aqidah maka Ahlus-Sunnah berkeyakinan bahwa demokrasi bukanlah dari ajaran Islam, tidak cuma itu ia juga bahkan sangat bertentangan dengan syari'at yang shahih. Bagaimana tidak, dengan demokrasi sesuatu yang haqq bisa dibikin bathil dan sesuatu yang bathil bisa dibikin haqq, yang penting menurut suara terbanyak. Oleh karenanya seorang Ahlus-Sunnah memisahkan diri dari terlibat dalam urusan demokrasi, karena timbangan yang digunakan hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah serta pemahaman As-Salafush-Shalih. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat point-point berikut:

1. Seorang Ahlus-Sunnah tidak terlibat dalam partai politik.

Dakwah Ahlus-Sunnah adalah dakwah yang tidak mengharapkan kecuali pahala dari Allah Ta'ala, Ahlus-Sunnah mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, menyeru untuk kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salafush-Shalih, bukannya kepada sistem demokrasi buatan manusia, sudah begitu sistem tersebut orang kafir lagi yang karang. Dengan demikian Ahlus-Sunnah tidak punya hajat untuk mencari keuntungan secara materi di balik carut-marutnya perpolitikan di suatu negara.

2. Ahlus-Sunnah mengajarkan untuk ta'at kepada penguasa muslim yang sah

Ini merupakan point yang harus benar-benar dicerna dengan baik, sebab boleh jadi ada beberapa hal yang mungkin belum kita ketahui, yakni siapapun pemimpin negeri asal dia muslim maka rakyat mesti ta'at meskipun dia diangkat melalui pemilu maupun kudeta, selama perintahnya bukan kepada bermaksiat terhadap Allah Ta'ala dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sudah maklum di benak kita bahwasanya pemilu adalah bagian dari demokrasi, jika ditinjau secara tata cara kepemilihan pemimpin sebenarnya itu tidak sah menurut Ahlus-Sunnah, kita pertegas tidak sah secara sistem, namun apabila seorang pemimpin tersebut telah dilantik maka pemimpin itu sah secara hukum, untuk menghilangkan keraguan kita lebih pertegas lagi bahwa posisi kepemimpinannya tetap sah secara hukum meski pemilihannya tidak sah secara sistem. Baik, begitupun dengan kudeta, jika ditinjau secara tata cara dalam tindakan maka itu tidak sah menurut syari'at Islam bahkan sangat-sangat dilarang, namun seumpama dia berhasil menduduki tahta dan telah memegang tentara maka tidak ada pilihan lain kecuali harus ta'at pada perintahnya dan bergabung untuk berjihad bersamanya, dengan kata lain posisi kepemimpinannya pun sah.

Lebih baik dipimpin oleh seorang penguasa zhalim selama 40 tahun dan banyak membunuh ribuan orang selama kepemimpinannya daripada 1 hari tanpa pemimpin, karena negeri yang tanpa pemimpin akan memicu perang suku, perang saudara bahkan perang agama yang bisa jadi jutaan orang yang bakal tewas di pertempuran setiap harinya. Itulah prinsip Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah.

Seandainya setiap orang merasa boleh untuk menjelek-jelekkan penguasa maka siapapun yang berkuasa nasibnya akan sama yaitu mendapatkan cercaan, makian, hinaan, sumpah serapah dari rakyatnya, sehingga rakyat pun tidak akan pernah mendapatkan penguasa yang baik. Termasuk yang menjelek-jelekkan pun seandainya dia mampu menjadi penguasa maka siap-siap saja dia dijelek-jelekkan juga. Keta'atan pun demikian, seorang pemimpin yang baik adalah rakyat yang ta'at kepada pemimpinnya. Kalau sewaktu dia masih jadi rakyat saja tidak mau ta'at kepada pemimpin maka bagaimana dia akan dita'ati oleh rakyatnya di saat dia sudah jadi pemimpin.

3. Bagaimana jika yang menjadi calon pemimpin ada di antaranya dari orang kafir sementara kita tidak ikut pemilu untuk memenangkan pemimpin muslim?

Supaya kita tidak tergolong orang-orang yang gemar berkhayal sebagaimana kelompok hizbut-tahrir yang membangun kerajaannya dalam khayal. Saat ini sebagaimana biasanya di hari, bulan dan tahun-tahun yang normal, belum ada kasus keterdesakan pengangkatan seorang pemimpin sebagaimana yang dipertanyakan di atas. Artinya tanpa kehadiran Ahlus-Sunnah dalam pemilu pun benar-benar tidak berpengaruh dalam proses pemilihan tersebut, yakni ia tetap berjalan seperti sedia kala dengan cara yang mereka sebut dengan istilah "jurdil" alias jujur dan adil.

Taruhlah pemimpin yang justru menang ialah orang kafir maka itu berarti mayoritas rakyat memang cenderung kepada kekafiran, maksudnya kebanyakan rakyat membela orang kafir dan meninggalkan calon muslim. Karena pemimpin merupakan cermin bagi sebagian besar rakyatnya. Lantas umpamanya Ahlus-Sunnah berada di bawah kekuasaan pemimpin kafir maka tidaklah pantas untuk mekakukan kudeta selama pemimpin kafir itu tidak mempersulit kaum muslimin untuk menjalankan agamanya.

Namun kalau kebanyakan penduduk suatu negeri sudah lurus aqidahnya, sudah benar ibadahnya, sudah mengerti ajaran agamanya maka otomatis Ahlus-Sunnah tersebut akan mengangkat pemimpin dari golongannya, dengan cara apa? Kudeta? Tidak, bukan kudeta, tapi menasehati penguasa agar mengganti sistem demokrasi dengan syari'at Islam dan menghimpun beberapa ahli agama untuk menentukan siapa calon yang tepat sebagai penggantinya, yakni di saat-saat akhir jabatannya. Tentunya rakyat tidak akan protes, kenapa? Karena mereka telah paham betul prosesinya. Kapan itu akan terjadi di Indonesia? Hanya Allah Ta'ala yang mengetahuinya, yang penting tugas kita hanya berdakwah dengan penuh hikmah sembari menjaga citra Islam yang berada di atas pundak kita.

Daulah Islamiyyah adalah hadiah dari Allah Ta'ala atas perjuangan dakwah para pembela-pembela sunnah, jadi itu bukan tujuan utama, sekali lagi itu bukan tujuan utama, karena tujuan utama hanyalah meluruskan aqidah ummat, memahamkan mereka ajaran Islam dan mengajak mereka untuk menjalankan agama ini dengan baik tanpa adanya sikap-sikap yang mengarah kepada radikalisme yang justru membuat lari ummat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar