Ini adalah kisah tentang pengkhianatan Ibnu Alqami Ar-Rafidi yang menjadi dalang berakhirnya daulah 'Abbasiyyah yang berpusat di kota Baghdad. Ini adalah kisah tentang bahayanya makar seseorang yang berpemahaman syi'ah rafidhah yang membuka jalan bagi tentara Mongol untuk meluluh lantakkan pemerintahan Al-Musta'shim Billah, dan ini adalah kisah dari berbagai kisah yang penting untuk diceritakan agar kita dapat mengambil pelajaran terkhusus untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara.
Telah kita ketahui bagi yang memang mengetahuinya bahwa syi'ah rafidhah satu pemahaman dengan khawarij, yaitu mudah mengafirkan selain kelompoknya dan senantiasa berupaya untuk menggulingkan kekuasaan pemimpin suatu negeri yang menurut anggapan mereka telah keluar dan murtad dari agama Islam serta halal darahnya untuk ditumpahkan.
Telah kita ketahui pula bagi yang memang mengetahuinya bahwa baghdad sebelum di kuasai oleh syi'ah merupakan kota ilmu pengetahuan, kota Ahlus-Sunnah, kota yang penuh berkah dengan banyaknya para ulama yang berada di sana, banyaknya penuntut ilmu yang datang menimba ilmu agama di sana.
Dan telah kita ketahui juga bagi yang memang mengetahui bahwa saat Al-Musta'shim Billah berkuasa keadaan di negeri-negeri memang sedang kacau, terlalu banyaknya pencaplokan daerah-daerah kekuasaan oleh pihak luar sehingga otomatis dapat mengurangi anggaran pendapatan negara, namun pusat pemerintahan daulah 'Abbasiyyah di Baghdad masih kuat sehingga pertahanan tidak dapat dijebol sampai munculnya pengaruh dari seorang syaithan syi'ah rafidhah yang bernama Ibnu Alqami.
Ibnu Alqami, begitulah nama itu dikenal, dicatat dalam sejarah sebagai biang kerok dari runtuhnya daulah 'Abbasiyyah di tangan pasukan Mongol kaum Tartar. Perjuangan syaithan syi'ah rafidhah ini cukup lama, selama bertahun-tahun dia bersembunyi di balik topeng pembela kaum muslimin, di balik menyemarakkan perkembangan ilmu pengetahuan dan di balik memulihkan perekonomian, hingga singkat cerita diangkatlah Alqami ini sebagai perdana menteri yang sekaligus menjadi penasehat raja Al-Musta'shim Billah.
Lalu mulailah Ibnu Alqami ini melancarkan tipu dayanya yakni pada saat posisi sudah sangat menentukan suatu prestasi, maka dia pun membuat kebijakan-kebijakan yang sebenarnya tidak bijak yaitu MENGURANGI JUMLAH TENTARA DAN MENGURANGI GAJI MEREKA dengan alasan sedang memfokuskan dana negara untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan penghematan anggaran lantaran merosotnya perekonomian, seperti masuk akal memang tapi itulah politik, itulah makar, itulah tipu daya, yang kalau bisa dibaca dengan mudah bukan lagi politik namanya, tidak dapat lagi disebut sebagai makar dan tidak bisa diistilahkan dengan tipu daya.
Bagaimana nasib tentara-tentara kaum muslimin yang tadinya berjumlah seratus ribu orang malah tinggal tiga puluh ribu orang? Tentunya yang dipecat sebanyak tujuh puluh ribu orang adalah mereka-mereka yang kuat sedangkan yang tidak dipecat cuma mereka-mereka yang lemah, di mana mereka-mereka yang lemah itu menerima gaji yang rendah sekali, sehingga tidak sedikit di antaranya terpaksa menjadi pengemis di kota Baghdad demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di balik kesibukan Ibnu Alqami mengurus segala program-program kenegaraan ternyata senyap-senyap dia menghubungi pemimpin kaum Tartar pasukan Mongol yang bernama Hulagu Khan, cucu dari Jenghis Khan agar segera membantai tentara-tentara Baghdad seraya mengabari bahwa kekuatan Baghdad sudah sangat merosot. Ibnu Alqami menyarankan agar pasukan Tartar yang berjumlah ratusan ribu orang yang dipimpin Guo Khan masuk lewat posisi belakang dari tentara-tentara Baghdad, lantaran di hari yang sama tentara-tentara Baghdad sedang sibuk melawan pasukan lain di posisi sayap kiri dan kanan, maka dalam waktu sekejap Baghdad pun takluk di bawah kemenangan kaum Tartar. Melihat kondisi seperti itu Ibnu Alqami menyarankan raja Al-Musta'shim Billah untuk bernegosiasi dengan raja Hulagu Khan, maka berangkatlah beberapa orang yang di antaranya Al-Musta'shim dengan membawa banyak harta berharga sekaligus untuk bernegosiasi, setibanya mereka di tempat yang dituju sebagian orang tidak diperkenankan masuk kecuali yang berkepentingan saja, dengan demikian Al-Musta'shim Billah pun memberanikan diri menemui Hulagu Khan, sementara beberapa orang yang masih berada di luar yang tidak diperkenankan untuk masuk tadi dibantai oleh pasukan Tartar. Begitupun nasib yang dialami oleh Al-Musta'shim Billah, bukannya bernegosiasi tapi malah beliau dianiaya dengan dimasukkan ke dalam gulungan karpet lalu diinjak-injak hingga beliau tewas meninggal dunia.
Ketika Baghdad telah berada di bawah kekuasaan kaum Tartar maka terjadilah pembantaian demi pembantaian terhadap sipil dari kaum muslimin hingga terbunuh mendekati angka sejuta orang, sehingga kota Baghdad bersimbah darah dan penuh dengan mayat-mayat bergelimpangan yang tidak terurus sekian lama, bau-bau bangkai manusia pun begitu menyengat dan menimbulkan wabah penyakit ganas sampai pengaruh wabah itu masuk ke daerah Syam.
Ketika pembantaian yang dilakukan oleh kaum Tartar terhadap kaum muslimin sedang berkecamuk, ketika itu pula perpustakaan-perpustakan Islam diobrak-abrik, kitab-kitab karya para ulama dibuang ke sungai Tigris hingga lunturnya tinta membuat air sungai itu berubah menjadi hitam.
Setelah situasi Baghdad tenang, setelah pembersihan dilakukan secara besar-besaran maka berdirilah kekuasaan Tartar di sana, sedangkan Ibnu Alqami lantaran telah dipandang sangat berjasa, dia pun diberi kedudukan yang cukup tinggi nan istimewa di kerajaan. Dari sini lah kaum syi'ah rafidhah yang tadinya lemah saat berada di bawah kekuasaan amirul-mu'minin Al-Mu'tashim Billah yang setelah kudeta akhirnya kaum syi'ah rafidhah tersebut mulai berkembang sangat pesatnya.
Kisah pengkhiatan Ibnu Alqami ini memberikan gambaran kepada kita akan bahayanya kaum syi'ah rafidhah, di mana mereka lebih berbahaya ketimbang khawarij, meskipun keduanya sama-sama bengis, ini lantaran kaum syi'ah rafidhah punya aqidah taqiyyah yakni menyembunyikan keyakinan asli dan menampakkan yang bukan sebenarnya, ini adalah sifatnya orang-orang munafiq yang diberi gelar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai "dzul-wajhain" yaitu yang memiliki dua wajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar