Jika kalimat Laailaahaillallaah diterjemahkan dengan "Tiada tuhan selain Allah" maka akan didapati dua kebathilan padanya:
*Kebathilan Pertama: Semua yang dipertuhankan oleh manusia dinamai Allah, ini adalah perkara yang bathil karena tidak boleh diterima kalau orang shalih atau malaikat yang dianggap tuhan oleh sebagian manusia disebut sebagai Allah.
*Kebathilan Kedua: Yang dipertuhankan oleh manusia itu tidak ada kecuali Allah, ini pun adalah perkara yang bathil karena pada kenyataannya sebagian manusia ada yang menuhankan orang shalih atau malaikat.
Terjemahan yang tepat dari kalimat Laailaahaillallaah adalah Laa ma'buuda bihaqqin illal-laah, "Tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah" dengan dua alasan:
*Alasan Pertama: Kaum musyrikin Mekkah pada zaman jahiliyyah mengakui bahwasanya Allah Ta'ala lah yang menciptakan langit dan bumi, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan dan mengabulkan do'a, namun tatkala mereka diajak oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengucapkan kalimat Laailaahaillallaah mereka menolak dengan mengatakan: "Apakah engkau hendak menjadikan ilah-ilah kami ini kepada ilah yang satu, sungguh ini benar-benar suatu yang aneh". Mereka menolak karena mereka orang Arab yang paham betul makna dari Laailaahaillallaah, kalau mereka mengucapkannya berarti mereka harus meninggalkan ilah-ilah lain dan menetapkan Allah Ta'ala sebagai ilah yang haqq. Tuntutan kalimat Laailaahaillallaah membuat mereka agar jangan lagi menjadikan orang shalih atau malaikat sebagai perantara antara diri mereka dengan Allah Ta'ala, jangan lagi mencari berkah dengan cara beri'tikaf di kuburan, jangan lagi menyembelih hewan kurban untuk penunggu pohon, jangan lagi menggantungkan nasib kepada sebongkah batu, jangan lagi melakukan semua peribadatan kecuali kepada Allah Ta'ala semata.
*Alasan kedua: Allah Ta'ala berhak diibadahi karena Dia yang telah menciptakan segala sesuatu, sementara selain-Nya adalah ilah-ilah yang bathil karena mereka tidak dapat menciptakan apapun bahkan mereka sendiri diciptakan.
Di bawah ini beberapa terjemahan yang bathil terhadap kalimat Laailaahaillallaah:
1. Laa ma'buuda illal-laah, tiada yang diibadahi selain Allah, ini adalah terjemahan yang bathil, karena kenyataannya sebagian manusia ada yang beribadah kepada dewa-dewi, penguasa laut, penunggu gunung dan penjaga goa. Terjemahan yang benar adalah memasukkan kata "bihaqqin" sehingga menjadi Laa ma'buuda bihaqqin illal-laah sebagaimana yang telah disebutkan di muka.
2. Laa khaaliqa illal-laah, tiada pencipta selain Allah, ini kalimat yang haqq namun belum bisa mewakili kalimat Laailaahaillallaah, sebagaimana yang telah diceritakan mengenai kaum musyrikin jahiliyyah.
3. Laa haakimiyyata illal-laah, tidak ada hakim selain Allah, ini adalah kalimat yang haqq namun seringkali dimaukan padanya kebathilan, kalimat ini seringkali disimpangkan oleh orang-orang yang berpemahaman khawarij yang dengannya mereka mengafirkan kaum muslimin yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta'ala. Kalimat ini tidak bisa mewakili kalimat Laailaahaillallaah karena itu kaum khawarij membunuhi kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka namun membiarkan hidup para penyembah berhala.
Ada tiga redaksi di dalam Al-Qur'an bagi orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta'ala:
a). Fa-man lam yahkum bi-maa anzalal-laahu fa-ulaaikahumul-kaafirun, "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan maka mereka itu kafir" Ayat ini sebenarnya berlaku pada orang-orang yang menganggap bahwa hukum Allah Ta'ala itu tidak relevan lagi untuk saat sekarang, menganggap bahwa perundang-undangan buatan manusia itu lebih baik dari hukum Allah Ta'ala, maka dalam hal ini secara sepakat bahwa orang itu telah kafir, dan itupun telah sampai padanya nasehat namun dia tidak memperdulikannya.
b). Fa-man lam yahkum bi-maaa anzalal-laahu fa-ulaaika-humul-faasiquun, "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan maka mereka itu fasiq", fasiq adalah pembuat maksiat dan dia belum tentu kafir, orang ini tidak menganggap hukum buatan manusia itu lebih baik dari hukum Allah, hanya saja dia mengikuti hawa nafsu ketika memutuskan perkara dengan undang-undang manusia.
c). Fa-man lam yahkum bi-maa anzalal-laahu fa-ulaaika-humuzh-zhaalimuun, "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan maka mereka itu zhalim", zhalim pun belum tentu kafir, ini sebagaimana hukum fasiq, disebut zhalim karena tidak adil, meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Sayangnya kaum khawarij hanya mengambil redaksi pertama, lalu menafsirkannya dengan semaunya, sehingga mereka menterjemahkan kalimat tauhidnya menjadi Laa haakimiyyata illal-laah, tiada hakim selain Allah, lalu setelah itu mereka menghalalkan darah kaum muslimin yang tidak sehaluan dengan prinsip mereka, ketika shalih menjadi salah akhirnya jihad menjadi jahat.
4. Laa maujuuda illal-laah, tidak ada yang ada kecuali Allah, ini jelas suatu yang sangat bathil yang mengarah kepada hulul (penitisan) dan wihdatul-wujud (menyatunya Dzat Allah di tubuh tiap makhluk), ini merupakan kesyirikan yang dibuat-buat oleh kaum shufi ghulat seperti Ibnu 'Arabi.
5. Laa akbara illal-laah, tiada yang besar selain Allah, ini pernah penulis dengar dari beberapa tablighi (anggota jama'ah tabligh), kalimat ini tidak dapat mewakili makna Laailaahaillallah, jika tablighi memahami dengan benar kalimat Laailaahaillallah tentu dia tidak bisa berlama-lama di tubuh jama'ah tabligh, karena kelompok ini tidak menitik-beratkan dakwahnya kepada Laa ma'buuda bi-haqqin illal-lah, bahkan mereka menganggap makna yang shahih ini sebagai pemecah-belah persatuan Islam, padahal sesungguhnya mereka lah yang telah membuat aliran baru di dalam Islam sehingga kaum muslimin semakin tercerai-berai menjadi bertambah banyak. Ya, jelas, dengan bertambahnya satu aliran baru di dalam Islam berarti menambah jumlah perpecahan di kalangan kaum muslimin, itulah hizbi/ kelompok/ golongan/ partai. Tiada yang besar selain Allah memiliki makna bahwa apa yang ada pada apapun yang kita lihat, dengar dan rasakan sebagai kebesaran-Nya, sehingga fokus utama seruan mereka kepada kebesaran Allah Ta'ala dan keagungan-Nya, namun mengabaikan makna yang sebenarnya dari kalimat Laailaahaillallah.
Ini bukan soal seseorang yang boleh berpendapat, ini soal ijma' (konsensus para 'ulama'), ini soal ahlul-hadits yang lebih mengerti ayat-ayat Al-Qur'an, ini soal yang apabila Al-Qur'an, Al-Hadits dan Ijmaa'ul-'ulamaa' telah menetapkannya yang setelah itu tiada siapapun boleh untuk berpendapat lain, tidak halal bagi kaum muslimin untuk berpendapat lain apabila dalilnya sudah sangat jelas menetapkannya, sebagaimana ketetapan wajibnya shalat lima waktu, shaum di bulan Ramadhan, zakat apabila sudah sampai nishabnya dan haji ke baitullahil-haram bagi yang mampu mengadakan perjalanan menujunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar