Ketika seseorang belajar Islam dari para misionaris maka hasil yang sesungguhnya dia dapatkan bukan malah kebenaran, dan ini dapat dibuktikan. Karena bagaimana mungkin dia bisa berada di jalan yang lurus sementara musuh-musuh Allah itu menggiringnya ke jalan kesesatan?
Satu persatu untaian ajaran Islam kian dilepaskan, bila perlu dilenyapkan begitu saja dengan adanya moderatisasi dari pengekor hawa nafsu yang berkiblat pada aliran kebarat-baratan.
Bagaimana tidak, ketika mereka mendapati ada ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akalnya maka mereka tolak, yakni mengganti tafsirannya dengan sesuatu yang lebih masuk akal, tapi kenyataannya malah tidak bisa diterima akal. Itulah hakikat sebenarnya dari moderatisasi, yakni selalu mencari jalan tengah dari berbagai persoalan dengan pertimbangan akal, padahal letak Islam tidak di akal, kalau letak Islam ada di akal maka tentu di waktu mengusap khuf tidak mengusap bagian atas dari alas kaki tersebut. Dan barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan akalnya, walaupun kebetulan benar maka ia dianggap salah, karena salah dalam cara.
Islam terletak di atas dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah, sehingga dalam menafsirkan Al-Qur'an para mufassirin menggunakan metode: 1. Tafsir ayat dengan ayat, 2. Ayat dengan hadits, 3. Ayat dengan qaul shahabat, 4. Ayat dengan qaul tabi'in, 5. Ayat dengan qaul tabi'it-tabi'in, demikianlah rentetan atau tahap-tahap yang seyogyanya dilalui.
Sebenarnya akar dari pemikiran moderat terhadap Islam adalah ketika terjadi modifikasi antara ajaran agama ini dengan materi filsafat. Mereka berusaha untuk mencampurkan antara bab keimanan dengan fakta yang logis. Bermain-main dengan ayat-ayat mutasyabihat dan membuat bingung kaum muslimin lewat makar-makarnya yang selalu mereka gencarkan, orang-orang menyebutnya: "propaganda".
Kalau mau berkreasi itu janganlah masuk-masuk ke ranah syari'at, karena syari'at itu sudah jelas dan sudah lengkap, tinggal mau dijalankan apa tidak, itu saja selesai. Kalau mau berkreasi itu berkreasilah dalam urusan duniawiyyah, silakan mau berfilsafat apa saja, mau tentang ekonomi, mau tentang politik, mau tentang tekhnologi, atau tentang apapun yang penting bukan mengotak-atik ayat-ayat Allah Ta'ala dan sunnah-sunnah Rasulnya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah Ta'ala menganugerahkan kepada kita sesuatu yang bernama imajinasi, di mana dengannya kita bisa membayangkan apa yang kita inginkan dan bisa menemukan apa yang masih misterius di alam semesta yang teramat sangat luas ini. Imajinasi tersebut akan memberikan faedah luar biasa kalau diarahkan pada jalurnya, namun kalau ia mulai melampaui batas yang telah ditetapkan syari'at maka tinggal tunggu saja kehancurannya.
Kita tidak menolak 100% materi filsafat, tapi kalau bisa ilmu khusus tentang itu tidak perlu untuk dipelajari, kita kasih tanda kutip: "ilmu khusus tentang itu" lantaran pembicaraan mengenainya memerlukan semacam perincian sehingga akan menghabiskan banyak tulisan di artikel ini. Oleh karenanya kita sampaikan sekedarnya saja yang penting maksud dan tujuan dari tema yang sedang kita bahas bisa tepat sasaran.
Ngomong-ngomong soal modifikasi, kreasi dan imajinasi, setiap bisnis juga memerlukan ketiga hal ini, oleh sebab itu akankah lebih baik kalau kita memoderatisasi bisnis yang kita kelola? Kehidupan ini begitu cepat berjalan, sehingga dengan tanpa adanya pembaharuan maka kita siap-siap saja untuk ditinggalkan.
Memoderatisasi bisnis yaitu menyeimbangkan berbagai hal dalam kegiatan bisnis. Seperti mengimbangi pembicaraan saat berhubungan dengan pelanggan, menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran, antara permintaan dan kemampuan, dan lain-lainnya.
Namun sebagai seorang muslim tidak lupa pula dengan menggunakan pertimbangan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, karena bisnis pun tidak bisa lepas dari bab jual-beli, di mana hukum-hukumnya telah diatur di dalam Islam. Adapun akal yang mencakup pula imajinasi, kita arahkan untuk mengatur berbagai strategi guna mengatasi berbagai problem dalam urusan bisnis tersebut. Jadi lagi-lagi, bahwa akal harus tunduk pada dalil syar'i, meskipun itu urusan duniawi apalagi urusan aqidah dan 'ibadah, tentu lebih tunduk lagi, ini lantaran semuanya telah diatur oleh Islam.
Akan tetapi, kalau kita menyibukkan diri kita untuk memoderatisasi ajaran Islam, padahal ajaran Islam itu sudah sempurna, maka selain tidak ada untungnya juga kesibukan itu sangat-sangat merugikan, bukan saja merugikan diri-sendiri, malah ia dapat merugikan keluarga, teman-teman maupun masyarakat di sekitar kita.
Mereka mengatakan bahwa moderat adalah wasath, kalau ditinjau dari segi makna memang serupa namun sayang ia tidak sama di dalam penerapannya. Moderat lebih cenderung untuk menjadikan akal sebagai penyeimbang terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah, sementara wasath lebih cenderung untuk menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai penyeimbang terhadap akal. Maka moderat mengatur Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan menggunakan akal, sementara wasath mengatur akal dengan menggunakan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar