Minggu, 28 Agustus 2016

Klarifikasi 9 Prinsip Salafi yang Sering Disalah Fahami (Pertemuan 34)


Di zaman internet sekarang ini siapa saja dengan mudahnya untuk memuat bermacam berita, di mana pada tiap berita tersebut bersembunyi di baliknya niat-niat tertentu, baik itu untuk tujuan pendidikan maupun untuk maksud menggembosi.

Simpang-siurnya informasi yang bertebaran di medsos membuat sesuatu yang jelas menjadi samar-samar, dan membuat sesuatu yang samar-samar menjadi gelap gulita. Oleh karena itu terasa mendesak bagi kita untuk melakukan klarifikasi terhadap berbagai kabar yang berlalu-lalang di media sosial tersebut.

Sebelum kita menyebutkan beberapa prinsip penting, terlebih dahulu kita mengingat kembali makna dari Salafi: Nama ini merupakan sebuah penyandaran kepada As-Salafush-Shalih, yakni shahabat, tabi'in dan atba'ut-tabi'in. Jadi Salafi adalah orang-orang yang mengikuti manhaj Salaf dalam memahami ajaran Islam, dengan kata lain bahwa Salafi berjalan di atas prinsip para As-Salafush-Shalih.

1. Manhaj Tahdzir

Di antara prinsip Salafi dalam mencegah kemungkaran adalah menerapkan manhaj tahdzir, yakni mengingatkan umat dari kesesatan seseorang maupun kelompok dengan suatu perincian yang bisa dipertanggung-jawabkan.

Barangsiapa yang mengaku sebagai Salafi namun meremehkan manhaj ini seperti turatsiyyun atau melebihi batas dalam penerapannya seperti haddadiyyun maka dia bukanlah Salafi.

Tujuan dari tahdzir sesungguhnya untuk memurnikan ajaran Islam, agar jangan sampai gara-gara kerancuan yang dimunculkan oleh seseorang maupun suatu sekte bisa berdampak membingungkan, sehingga akibatnya umat mengira bahwa haqq sebagai bathil, bathil sebagai haqq, tauhid sebagai syirik, syirik sebagai tauhid, sunnah sebagai bid'ah, bid'ah sebagai sunnah, amal shalih sebagai maksiat, dan maksiat sebagai amal shalih.

Manhaj tahdzir ini dilakukan supaya seseorang atau kelompok yang telah menyimpang segera untuk mengumumkan taubatnya, memperbaiki sikap, perkataan dan amalan.

2. Sikap terhadap Kezhaliman Penguasa.

Sikap Salafi terhadap penguasa yang zhalim adalah bersabar, hanya satu kata itu saja, sampai kapan? Sampai mati, yakni kita yang lebih dulu mati atau dia yang lebih dulu diganti? Sesungguhnya sikap Salafi terhadap penguasa yang memerintahkan kepada sesuatu yang bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah Ta'ala adalah tetap mendengar dan tetap taat meskipun mereka berada di bawah kepemimpinan seseorang yang tidak layak dijadikan pemimpin. Seorang penguasa tidaklah diturunkan dari kedudukannya lantaran dia ahli maksiat, tidak pula dia dipecat lantaran kasus korupsi, oleh karenanya tidak ada jalan bagi Salafi untuk melakukan kudeta, tidak ada jalan bagi mereka untuk demonstrasi dan tidak ada jalan untuk membeberkan aibnya, yang ada hanyalah menasehati penguasa secara tertutup.

Adapun kalau mengkritik penguasa di atas mimbar, ada khilaf di kalangan 'ulama', sebagian membolehkannya dan itu pun dengan syarat tidak mengesankan celaan terhadapnya, bahkan dianjurkan bagi rakyat mendo'akan kebaikan untuknya.

3. Karamah Wali.

Salafi bukan hanya percaya terhadap wali Allah yang mendapatkan karamah seperti yang terjadi pada Maryam binti Imran, tapi juga percaya akan adanya wali syaithan yang mendapatkan istidraj seperti tukang sihir fir'aun. Seorang wali tidak mesti ditandai dengan kejadian yang luar biasa, dan seseorang yang mendapatkan kejadian luar biasa tidak mesti menandakan bahwa dia seorang wali. Tidak ada yang bisa mengetahui apakah seseorang itu wali atau bukan kecuali Allah Ta'ala semata. Yang jelas wali Allah itu merupakan ahli tauhid dan anti syirik, dia adalah ahlus-sunnah dan anti bid'ah.

Kepercayaan pada karamah wali adalah kita percaya akan adanya karamah yang Allah Ta'ala berikan kepada wali-Nya, sehingga kita senantiasa memuliakan kedudukannya, dan ini tidak berarti kita menjadikan para wali yang sudah meninggal itu sebagai perantara dalam ibadah kita kepada Allah Ta'ala.

4. Shalawat.

Salafi merupakan orang-orang yang sangat bersemangat dalam bershalawat, hanya saja bukan shalawat badar, nariyah, atau apapun yang mengandung kemungkaran. Shalawat yang Salafi amalkan di antaranya ketika menyebut atau mendengar nama Nabi Muhammad, mereka mengucapkan: "shallallahu 'alihi wa sallam"

5. Asma' wa Shifat.

Salafi meyakini bahwa selain Allah Ta'ala tidak boleh untuk menamai dirinya dengan nama Allah, Ar-Rahman, Rabbul-'Alamin termasuk pula Khairur-Raziqin. Salafi juga meyakini bahwa sifat-sifat Allah Ta'ala itu tidak ada yang menyamainya. Salafi menetapkan secara makna sifat turunnya Allah Ta'ala di sepertiga malam terakhir ke langit dunia, menetapkan secara makna sifat bersemayam di atas 'arasy, menetapkan secara makna sifat dua tangan yang keduanya kanan, sifat dua mata, sifat dua telinga, sifat betis dan sifat telapak kaki, namun menyerahkan hakikatnya kepada Allah Ta'ala, hanya Dia yang mengetahui hakikatnya, di mana tidak ada yang serupa dengan-Nya.

6. Tawassul

Disyari'atkan untuk bertawassul dengan nama-nama dan shifat-shifat Allah Ta'ala, bertawassul dengan iman, bertawassul  dengan tauhid, bertawassul dengan amal shalih, ataupun bertawassul dengan penghindaran terhadap maksiat. Salafi melarang untuk bertawassul dengan cara-cara yang tidak diajarkan oleh syari'at Islam seperti bertawassul kepada orang yang sudah meninggal dunia, bahkan baik itu kepada para nabi apalagi kepada para wali.

7. Tabarruk

Disyariatkan untuk mengadakan perjalanan menuju Al-Masjidul-Haram di Makkah, Al-Masjidul-Aqsha di Palestina dan Al-Masjidun-Nabawi di Madinah untuk mendapatkan keberkahan dari Allah Ta'ala, yakni mencakup rahmat dan maghfirahnya. Termasuk pula mengharap berkah dari Allah Ta'ala melalui seorang 'alim dengan cara duduk menuntut ilmu di hadapannya, bukan malah meminum air kobokannya.

8. Ziarah Qubur.

Disyari'atkan ziarah qubur untuk mengingatkan kepada kematian dengan cara memberi salam kepada ahli qubur dan mendo'akan kesejahteraan untuk mereka. Hanya saja Salafi tidak membenarkan membaca Al-Qur'an di quburan lantaran Al-Qur'an untuk orang yang masih hidup secara jiwa-raga bukan untuk orang yang sudah mati jiwa-raganya.

Apalagi sampai beristi'anah atau beristighatsah di sana termasuk daripadanya yaitu minta disampaikan suatu do'a kepada Allah Ta'ala melalui seseorang yang telah meninggal dunia karena tidak boleh menjadikan orang yang sudah meninggal tersebut sebagai perantara antara seseorang dengan Allah Ta'ala. Ini sebagaimana larangan untuk berperantara kepada Wadd, Suwa', Ya'uq dan Nashr di zaman Nabi Nuh 'alaihis-salam, maupun kepada Latta, 'Uzza, Manat dan Khubal di zaman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun semasa hidup mereka termasuk orang-orang yang shalih.

Orang yang sudah meninggal dunia sebenarnya memerlukan do'a dari orang yang masih hidup, sehingga karenanya kita berdo'a kepada Allah Ta'ala agar Dia melimpahkan kesejahteraan untuk mereka. Kita dilarang untuk berdo'a kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut, dilarang untuk minta-minta kepada mereka, baik itu minta langsung maupun minta disampaikan.

9. Ahlus-Sunnah

Seseorang yang betul-betul Ahlus-Sunnah tentulah lebih mengutamakan Sunnah ketimbang hawa nafsunya, hawa nafsu yang mencakup akal sehat, hati nurani dan perasaan. Itulah sebabnya mengapa Ahlus-Sunnah begitu membenci filsafat dan tashawwuf?

Jadi, bagaimana mungkin bisa untuk disamakan antara Ahlur-Ro'yi alias Ahlul-Ahwa' dengan Ahlus-Sunnah alias Ahlul-Hadits? Sementara konsekuensi keimanan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah membenarkan alias tidak mendustakan apa yang beliau bawa dan lapang dada alias tidak berat hati dalam menerima segala putusan hukum-hukumnya.

Salafi lebih berhak diklaim sebagai Ahlus-Sunnah ketimbang kaum Shufi, lantaran Salafi lebih mengutamakan Sunnah di atas kepentingan pribadi maupun golongannya, sementara kaum Shufi lebih mementingkan akal sehat, hati nurani dan perasaan serta pengalaman spritual ketimbang harus tunduk kepada Sunnah, bahkan kaum Shufi tidak segan-segan menyatakan bahwa syari'at adalah kulit luar saja sementara intinya adalah tashawwuf, sehingga otomatis kaum Shufi ingin menjauhkan umat dari Sunnah, karena Sunnah adalah syari'at itu sendiri.

Maka ASWAJA yang notabenenya orang-orang Shufi bukanlah Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah, tapi Asy'ariyyah Wal-Jahalah, disebut jahalah karena mereka menghidupkan kembali tradisi jahiliyyah yang sebenarnya telah diperangi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada shahabatnya radhiyallahu 'anhum.


Tampilan di atas adalah gambar batu krisopras asal Australia, yakni dilakukan padanya proses klarifikasi dari tahapan bongkahan yang masih terlihat bernoda hingga menjadi permata yang bersih. 
Tahap 1: Bahan masih tampak di sana lapisan kulit luar yang berwarna coklat sehingga perlu pengikisan terhadap lapisan kulit luar tersebut. 
Tahap 2: Masih tersisa di situ lapisan kulit dalamnya yang berwarna putih oleh karenanya pengikisan lapisan kulit dalam pun dilanjutkan. 
Tahap 3. Bahan telah bersih namun bentuknya masih belum sempurna maka bahan tersebut tinggal dirapikan.
Tahap 4. Batu sudah menjadi permata melalui tahapan-tahapan di atas dan setelah dipoles dengan serbuk intan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar