Senin, 09 Januari 2017

Hukum Membantah Ahlu-Ahwa (Pertemuan 66)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memperingatkan para shahabat radhiyallahu 'anhum tentang bahayanya seseorang yang wallahu a'lam namaya Dzul-Khuwaisirah. Orang ini memprotes atas pembagian ghanimah (harta rampasan) dari perang hunain, dia berkata dengan lantang dan tidak beradab: "Adillah ya Muhammad, karena engkau belum adil", Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Celaka engkau, kalau aku saja tidak bisa berbuat adil, maka siapa lagi yang bisa berbuat adil?", mendengar hal itu salah seorang shahabat bernama 'Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu bangkit dan meminta izin agar memenggal batang leher orang tadi, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarangnya: "Biarkan dia, aku khawatir orang-orang akan mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya", begitu orang itu pergi, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan sambil menunjuk punggung orang tersebut: "akan lahir dari dhi'dhi' orang ini suatu kaum yang kalian menganggap remeh shalat dan shaum kalian dibanding shalat dan shaum mereka, mereka membaca Al-Qur'an tapi tidak sampai ke tenggorokan mereka dan mereka keluar dari (ajaran) Islam sebagaimana anak panah melesat pada target buruannya". Atau sebagaimana persisnya perkataan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dhi'dhi' (ضئضئ) artinya pangkal, saat itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menunjuk pangkal leher Dzul-Khuwaisirah. Dhi'dhi' juga berarti sumber, ia bisa berarti tulang sulbi, burung bahkan khushyah (خصية) yang berarti tempat proses pembentukan sperma yakni testis. Maka sambil menunjuk pangkal leher di belakang Dzul-Khuwaisirah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan: Akan terlahir dari dhi'dhi' orang ini suatu kaum..." dan seterusnya hingga akhir hadits.

Kaum yang bakal terlahir dari seorang Dzul-Khuwaisirah adalah kaum yang disebutkan ciri-cirinya, mereka tumbuh dari kalangan orang-orang yang terlalu sibuk beribadah hingga lupa menuntut ilmu, mereka berlebih-lebihan dalam semangat menegakkan hukum Allah Ta'ala sampai-sampai mengafirkan pelaku dosa besar di bawah dosa syirik, mereka selalu memberontak kepada penguasa dan membunuhi kaum muslimin namun membiarkan para penyembah berhala, maka dalam hal ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh mereka di manapun mereka berada, namun mereka tidak akan pernah musnah sampai kelompok terakhir dari mereka bergabung dengan Dajjal di akhir-akhir menjelang kiamat.

Kisah di atas mengingatkan kita akan manhaj (prinsip) ahlul-hadits, di mana wajib bagi kita untuk memberitahu ummat tentang kesesatan para pengikut hawa nafsu dan merinci syubhat-syubhat mereka. Maka para ulama pun berlomba-lomba untuk menulis kitab-kitab tentang rudud dari masa ke masa, yakni mengenai bantahan terhadap statement-statement yang dipublikasikan oleh ahlul-ahwa (pengikut hawa nafsu), seperti Jahm bin Shafwan dengan kesesatan akidah jabriyahnya, Washil bin Atha' dengan akidah mu'tazilahnya, Ibnu 'Arabi dengan akidah ghulat shufinya dan yang semisalnya. Sungguh ini kewajiban dan bukan ghibah, kalau ada yang menyebutnya sebagai ghibah maka sama saja menuduh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berghibah, wal 'iyadzu billah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar