Senin, 02 Januari 2017

Maunya Menasehati Pemerintah Tapi Tidak Mau Dinasehati Ulama Sunnah (Pertemuan 59)

Tekhnik cepat belah bambu yang kerap dipraktekkan dalam dunia politik ternyata hingga saat ini masih laku saja di pasar rakyat. Ketika pangkal dari sebilah bambu yang agak panjang sudah sedikit terbelah membuka maka seorang pengrajin menginjak satu bagian dan mengangkat tinggi-tinggi bagian yang lainnya, dengan demikian bambu pun akan terbelah dua dengan cepatnya.

Dalam awal-awal sejarah Islam, tepatnya di masa kekhalifahan 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhum, ada seorang Yahudi dari Shan'a Yaman yang berpura-pura beragama Islam dengan tujuan untuk merusak keutuhan persatuan kaum muslimin dari dalam, orang ini dikenal dalam kitab-kitab sejarah sunni maupun syi'i baik yang dahulu kala maupun abad kontemporer bernama 'Abdullah bin Saba' yang kemudian pengaruhnya berkembang menjadi saba'iyyin. Orang ini punya dua gagasan utama dalam melancarkan pahamnya yaitu tentang washi' dan raj'ah, paham ini dia ambil dari akidahnya kaum Yahudi.

Menurut 'Abdullah bin Saba' bahwa setiap nabi mempunyai washi' menjelang akhir hayatnya, yakni orang yang diberi washiyyat untuk melanjutkan kepemimpinan terhadap ummat. Lanjutnya adapun 'Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah adalah washi'nya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni berangkat dari peristiwa di ghadir khum yang setiap tahun diperingati oleh penerus saba'iyyin sebagai hari 'idul-ghadir.

Tentunya paham semacam ini tidak sesuai dengan apa yang dipahami oleh para shahabat radhiyallahu 'anhum, karena menjelang wafat beliau shallallahu 'alaihi wa sallam A'isyah ummul mu'minin radhiyallahu 'anha melihat sepertinya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hendak berwashiyyat namun beliau membatalkannya. Jadi dalam hal kepemimpinan Abu Bakr Ash-shiddiq memang bukan atas dasar washiyyat, namun berdasarkan tanda-tanda seperti diperintahkannya Abu Bakr mengimami manusia dalam shalat saat beliau shallallahu 'alaihi wa sallam jatuh sakit. Jika para shahabat ridha Abu Bakr Ash-Shiddiq sebagai ganti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam urusan akhirat yaitu shalat maka mereka pun ridha Abu Bakr Ash-Shiddiq mengimami mereka dalam urusan dunia yaitu sebagai khalifah mereka.

Menurut 'Abdullah bin Saba' bahwa kelak menjelang kiamat akan terjadi raj'ah, yakni dibangkitkannya Abu Bakr Ash-Shiddiq dan 'Umar bin Al-Khaththab beserta dua belas imam agar dua belas imam memberikan hukuman salib kepada Abu Bakr dan 'Umar. Sesungguhnya akidah raj'ah semodel ini tidak pernah dikenal oleh para shahabat radhiyallallahu 'anhum. 'Abdullah bin Saba' menginjak kedudukan Abu Bakr dan 'Umar sehina-hinanya lalu mengangkat kedudukan 'Ali semulia-mulianya, yang ini disebut politik belah bambu.

Ketika hasad sudah menguasai manusia, ketika lawan politik sudah mengancam posisinya, maka politik belah bambu pun dijadikan metode ampuh untuk merebut simpati masyarakat agar menjauhi lawan politiknya sejauh-jauhnya dan agar masyarakat mendekatinya sedekat-dekatnya. Dalam beraksi dia tidak peduli meskipun melalui jalan memfitnah yang penting tujuannya bisa tercapai. Anehnya sampai detik ini masyarakat belum menyadari padahal cukup sering dikibuli, lantaran terbuai dengan janji-janji.

Artikel ini akan mengangkat tiga pokok pikiran penting:
1. Menjaga nama baik siapa-siapa yang sudah resmi menjadi pejabat negara
2. Mengingkari proses politik belah bambu bagi yang belum resmi menjadi pejabat negara
3. Meletakkan kecintaan pada pemerintah atas kebaikan-kebaikannya dan meletakkan ketidak-ridhaan terhadap apa-apa yang menyelisihi syari'at Islam.

Pertama:
a). Islam melarang penganutnya untuk mencerca Allah Ta'ala, Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, kitab-Nya dan semua ajaran Islam.
b). Islam melarang penganutnya untuk mencerca para shahabat radhiyallahu 'anhum. c). Islam melarang penganutnya untuk mencerca pemerintah muslim dan para staf-stafnya.
d). Islam melarang penganutnya untuk mencerca kedua orang tua.
e). Islam melarang penganutnya untuk saling mencerca satu sama lain.
f). Islam melarang penganutnya untuk mencerca sesembahan-sesembahan selain Allah Ta'ala dan para penyembahnya.

Kedua:
Kita mengingkari orang-orang yang nyata-nyata melakukan politik belah bambu dengan cara-cara memfitnah, terlebih lagi bukan pejabat pemerintah, adapun kalau pejabat pemerintah maka bukan berarti kita tidak mengingkarinya, hanya saja kita tidak terang-terangan membeberkan aibnya, yakni terhadapnya kita diharuskan untuk lebih beradab. Kita sebagai muslim tentunya tidak perlu untuk menganut paham demokrasi dan tidak perlu untuk ikut pemilu dengan berbagai alasan, namun kita memiliki cara-cara yang terbimbing dalam menasehati pemerintah yang apabila mereka menerima nasehat maka itu yang kita harapkan, tapi apabila mereka tidak mau untuk menerima nasehat maka kita sudah menyampaikan kewajiban.

Ketiga:
Kita tinggal di Indonesia mestinya banyak-banyak bersyukur, sebagai ummat Islam kita bebas untuk menjalankan ibadah, aman dalam mencari rezeki, sekolah dan melakukan kegiatan-kegiatan. Sesungguhnya ini merupakan suatu kenikmatan yang Allah Ta'ala limpahkan ke atas negeri ini dan merupakan suatu kebaikan dari pemerintah kepada rakyatnya. Tidak ada gunanya kita mengeluh, mungkin kita berpikir ingin sekali untuk menasehati pemerintah tapi ketika kita yang dinasehati kita malah menolak bahkan menganggap musuh orang-orang yang menasehati kita. Kita juga menemukan terbongkarnya aib-aib pemerintah di berbagai media maupun dari mulut-mulut sesama kita, sungguh apabila itu suatu kemungkaran maka janganlah dilawan dengan kemungkaran juga yang akhirnya jadi bertambah mungkar.

Tugas kita sebagai rakyat adalah mendukung perkara-perkara baik yang ada pada pemerintah sesuai bidang kita masing-masing dan tidak mencoba masuk-masuk kepada ranah yang bukan bidang kita, yang justru dapat memperbesar masalah. Menggulingkan pemerintah yang ada bukan solusi terbaik, sebab belum tentu penggantinya bisa lebih baik dari pemimpin sebelumnya, bahkan kudeta dapat menjadi sebuah mala petaka yang tidak boleh dianggap remeh, pihak-pihak yang terlibat dalam kudeta tentu akan merasa punya jasa yang berpotensi besar akan terjadinya perang saudara, jika sudah begitu kekuatan negara melemah dan dijadikan kesempatan luas bagi pihak-pihak luar untuk melakukan serangan tiba-tiba, baik itu pasukan syi'ah, komunis, isis, maupun salibis.

Ada sebuah sikap yang mirip dengan sikap kita kepada pemerintah, yaitu tentang tato. Islam melarang penganutnya untuk mentato dan yang ditato, namun apabila tato itu sudah terlanjur ada ditubuh maka larangan untuk merusak tubuh lebih utama daripada membuang tato. Demikianlah tentang pemerintah, Islam melarang penganutnya untuk mengikuti pesta demokrasi pemilu, namun apabila pemimpin sudah ditetapkan dan semua aparat sudah siap loyal maka kita juga tidak ada pilihan lain kecuali tetap mendengar dan taat sesuai washiyyat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hendaknya kita menjalankan washiyyat dan tidak mendukung apa-apa yang menyelisihi washiyyat, yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah, wa billahi taufiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar