Selasa, 24 Januari 2017

Mengapa Harus menulis? (Pertemuan 87)

العلم صيد والكتابة قيده
قيد صيودك بالحبال الواثقة
فمن الحماقة أن تصيد غزالة
وتتركها بين الخلائق طالقة

Al-'Ilmu shaidun wal-kitaabatu qayyiduh
Qayyid shuyuudaka bil-hibaalil-waatsiqah
Faminal-hamaaqati an tashiida ghazaalah
Wa tatrukuhaa bainal-khalaa'iqi thaalaqah

"Ilmu itu adalah buruan Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Maka termasuk kebodohan adalah kamu berburu kijang
Sementara kamu membiarkannya lepas di antara manusia".

Perkataan di atas adalah anjuran untuk mencatat agar mengingatkan kita di saat kita lupa, oleh karena itu Islam menyuruh ummatnya untuk mencatat terutama perihal utang piutang. Bahwa orang ini telah berhutang kepada saya atau saya telah berhutang kepada orang ini sekian dan seterusnya.

Pada saat kita mendengar atau membaca sesuatu sebenarnya otak kita secara otomatis sedang mencatatnya satu persatu, hanya saja catatan itu tidak bisa dimengerti oleh orang lain sampai kita menyampaikannya dengan benar, baik itu melalui lisan maupun tulisan.

Kalau kita hendak menyampaikan sesuatu yang bermanfaat maka mau tidak mau kita mesti memahami terlebih dahulu sesuatu itu, baik berdasar pada pengalaman atau dari proses pembelajaran.

Menulis memiliki banyak manfaat, dan untuk menjadi seorang penulis tentunya harus banyak membaca. Dengan membaca maka akan bertambahlah perbendaharaan kata-kata, yang ini sangat penting dalam membuat suatu tulisan bahkan dapat memperlancar kita dalam berbicara.

Yang perlu diperhatikan ketika mau menulis adalah faktor niat, bahwa kita sedang belajar dan belajar itu merupakan perintah agama, yang tentunya bernilai pahala. Oleh karenanya apakah orang lain mau membacanya ataukah tidak maka itu bukan urusan kita, dengan kata lain teruslah berkarya meskipun tidak ada yang "like".

Di saat menulis hendaklah tidak memposisikan diri sebagai editor, lepas saja, mengalir saja, tanpa ada beban, teruslah menulis sampai tulisan tersebut selesai. Setelah selesai baru diceck mana yang harus diperbaiki. Kalau belum-belum kita sudah banyak memperbaiki kata-kata, maka percayalah bahwa tulisan kita lama sekali mau selesai. Baru saja memulai sudah banyak yang dihapus, akhirnya mengulang lagi dan mengulang lagi.

Kadang kita bingung, apa yang akan kita tulis, oleh karenanya kita memerlukan suatu ide atau pokok pikiran utama. Misalnya kita melihat ada sebuah jembatan yang rusak, meskipun hanya berupa lubang namun itu cukup berbahaya bagi pengendara terutama yang beroda dua. Sebuah tulisan yang hendak kita angkat diharapkan bisa bermanfaat bagi pengguna jalan maupun pemerintah setempat yang mungkin belum sampai kepada mereka berita sehingga seolah mengabaikan perbaikan terhadap jembatan tersebut.

Ajaran Islam tidak membenarkan ummatnya untuk berdongeng, yakni mengarang cerita fiktif meskipun itu bermanfaat. Karena dongeng adalah cerita bohong dan sama saja mengajarkan orang lain untuk suka berbohong.

Kesibukan untuk menceritakan kisah-kisah palsu dapat berakibat terlalaikannya kita untuk mempelajari kisah-kisah yang nyata, kisah-kisah yang dikhabarkan oleh Allah Ta'ala dalam kitab-Nya, dalam hadits-hadits Nabi-Nya dan dalam riwayat-riwayat orang-orang shalih dari hamba-hamba-Nya.

Kisah-kisah palsu apabila tercampur dalam memori kita maka dapat pula berakibat bingungnya kita dalam memahami sesuatu, lantaran tidak memiliki pijakan yang tetap alias plin-plan. Suatu hari bilang begini tapi di hari yang lain bilang begitu.

Dalam hal ini Allah Ta'ala berkata: "Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an, seandainya Al-Qur'an itu bukan datang dari Allah, maka sungguh mereka akan melihat pertentangan yang banyak", yakni sungguh mereka akan mendapati antara ayat satu dengan ayat yang lainnya saling bertentangan, saling bertolak belakang.

Suatu cerita bohong tidaklah ia dijadikan kecuali untuk dibantah, diklarifikasi, dijelaskan kebohongannya. Biasanya cerita bohong itu mengandung kemunkaran, mengandung pertentangan terhadap kebenaran.

Misalnya seseorang mengarang cerita tentang kasih ibu yang terabaikan, ibu tersebut hidup terlantar di pinggir jalan sementara anak-anaknya tidak perduli sedikitpun. Sampai di sini cerita tersebut sudah nampak kemungkarannya, yaitu apa benar anak-anaknya tidak perduli sedikitpun? Apalagi kalau cerita itu dilanjutkan, dikasih bunga-bunga agar lebih menarik, yang akhirnya anak-anaknya menjadi celaka atau anak-anaknya akan menyesal. Kalau anak-anaknya celaka, apakah seorang ibu menjadi bahagia?, atau kalau anak-anaknya menyesal, apakah dikarenakan justru ibunya yang kena celaka? Cerita tersebut akan menjadi sangat parah tatkala pengarangnya sudah melibatkan kutukan Allah, itu sama halnya dengan mengada-adakan kebohongan atas nama Allah.

Seorang penulis yang pandai berdusta suatu hari nanti tidak akan dipercaya. Ini bisa kita lihat pada situs-situs tertentu maupun stasiun televisi yang gemar memosting atau menyiarkan berita-berita hoax atau abal-abal.

Jadi, kita hanya mengungkap semua kebenaran dan membantah segala kebathilan, dengan tetap berada dalam bimbingan ulama' sehingga tidak cenderung mengada-ada. Karena kita bertugas untuk memberitahu orang-orang ke arah kebaikan, bukan justru menjerumuskan mereka ke lembah kenistaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar