Jumat, 27 Januari 2017

Semua tentang Abdul-Muththalib (Pertemuan 91)

Berbicara tentang 'Abdul-Muththalib mencakup:
1. Nasab dan keturunan 'Abdul-Muththalib
2. Penggalian sumur zam-zam
3. Nazar 'Abdul-Muththalib
4. Menghadapi Abrahah
5. Memelihara Muhammad 'alaihis-shalatu was-salam
1. Nasab dan keturunan 'Abdul-Muththalib
'Abdul-Muththalib (Syaibah)
bin Hasyim ('Amru)
bin 'Abdu Manaf (Al-Mughirah)
bin Qushai (Zaid)
bin Kilab
bin Murrah
bin Ka'ab
bin Lu'ay
bin Ghalib
bin Fihr (Quraisy)
Quraisy dari Bani Kinanah,
Kinanah dari Bani Ma'add,
Ma'ad bin 'Adnan,
'Adnan dari Bani Ya'rub,
Ya'rub bin Yasyjub,
Yasyjub bin Isma'il
Isma'il bin Ibrahim Khalilullah.
'Abdul-Muththalib punya 16 anak, yaitu 10 laki-laki dan 6 perempuan. Di antara anaknya ada Al-Harits, Hamzah, 'Abbas, Abu Thalib, Abu Lahab dan 'Abdullah.
Ini telah disebutkan dalam pertemuan 72: "Nasab Nabi Muhammad sampai Adam"
2. Penggalian sumur zam-zam 'Abdul-Muththalib bercerita: "Sesungguhnya aku benar-benar tertidur di Hijr, saat itu datang padaku seseorang, lalu dia berkata: 'Galilah Thibah!', aku bertanya: 'Apa itu Thibah?', kemudian dia menghilang dariku. Keesokan harinya aku kembali ke (Hijr) berbaring dengan memiringkan badanku, lalu tertidur di situ. Maka dia datang (lagi) menemuiku seraya berkata: 'Galilah Madhnunah!". Aku bertanya: 'Apa itu Madhnunah?', kemudian dia menghilang dariku. Keesokan harinya lagi aku kembali ke (hijr) berbaring dengan memiringkan badanku, lalu aku tertidur di situ. Maka dia datang (lagi) menemuiku seraya berkata: 'Galilah Zamzam!'. Aku bertanya: 'Apa itu Zamzam?'. Dia menjawab: 'Tidak habis terkuras selamanya dan tidak menjadi sedikit ainya, engkau memberi minum jama'ah haji yang agung, dan ia berada di antara kotoran dan darah, di tempat patukan gagak hitam yang kedua sayapnya ada bulu putihnya.
Ketika sudah jelas bagi Abdul-Muththalib jejak yang menunjukkan letaknya dan mengetahui bahwasanya mimpinya benar maka keesokan harinya beliau mecangkul dan bersamanya anaknya Al-Harits, waktu itu belum ada anak yang lain kecuali dia. Ketika 'Abdul-Muththalib melihat ada batu-batu yang tersusun melingkar, beliau langsung bertakbir: "Allahu akbar". Mendengar takbir beliau maka menjadi tahulah orang-orang Quraisy bahwa beliau telah menemukan apa yang beliau cari. Mereka pun menghampiri beliau seraya berkata: "Wahai 'Abdul-Muththalib, sesungguhnya itu adalah sumur nenek moyang kita Isma'il, dan sesungguhnya kami juga punya hak atas sumur itu. Maka libatkanlah kami bersamamu". Beliau menjawab: "Aku tidak setuju, karena ini telah dikhususkan bagiku bukan kalian". Mereka berkata: "Berbuat adillah kepada kami, karena kami tidak akan meninggalkanmu hingga kami siap bertikai denganmu dalam urusan ini". Beliau menjawab: "Kalau begitu, carilah seorang hakim yang kalian suka untuk menjadi penengah di antara aku dan kalian". Mereka berkata: "Seorang dukun perempuan dari Bani Sa'd Hudzaim". Beliau menjawab : "Baiklah".
Dukun itu sangat dimuliakan di Syam, maka berkendaraanlah Abdul-Muththalib dan bersamanya beberapa orang dari Bani Abdu Manaf, dan berkendaraan pula setiap kabilah dari Quraisy beberapa orang. Yang akan mereka lewati adalah gurun pasir tandus nan luas membentang. Ketika mereka sudah sampai di daerah antara Hijaz dan Syam, perbekalan air yang dibawa oleh 'Abdul-Muththalib dan rombongan sudah hampir habis, maka mereka kehausan hingga yakin akan binasa.
Maka rombongan dari kabilah Quraisy meminta air namun yang lain enggan untuk memberi, seraya berkata: "Kita ini sedang berada di gurun, dan kami mengkhawatirkan diri-diri kami seperti apa yang menimpa kalian. Tatkala 'Abdul-Muththalib melihat apa yang mereka lakukan dan apa yang beliau khawatirkan menimpa dirinya dan kawan-kawannya, maka beliau berkata: "Apa pendapat kalian?" Mereka menjawab: "Kami tak punya pendapat lain kecuali mengikuti apa pendapatmu, maka perintahkan kepada kami apa yang engkau inginkan."
Beliau berkata: "Aku mengusulkan agar setiap orang dari kalian menggali lubangnya masing-masing, mumpung saat ini kalian masih ada tenaga, lalu setiap ada yang mati maka teman-temanya akan menguburkan dia di lubang yang dia gali tersebut, terus begitu sampai tinggal satu orang yang akan meminum air yang masih tersisa".
Bertebaranlah setiap orang bersama kendaraannya masing-masing untuk mencari tempat galian yang kira-kira di situ bakal ada air, seraya mengatakan: "Itu adakah sebaik-baik perintah". Setiap orang pun mulai menggali, membuat lubang untuk dirinya sendiri, dia duduk di situ dalam keadaan menahan rasa haus dan menunggu mati.
Kemudian 'Abdul-Muththalib berkata kepada teman-temannya: "Demi Allah sesungguhnya pertemuan kita di sini bukanlah untuk menunggu mati, tidaklah layak kita berhenti menggali, karena itu suatu kelemahan, karena Allah akan memberi kita rezeki berupa air pada sebagian negeri. Bergegaslah". Maka bergegaslah mereka semua kecuali dari kabilah Quraisy, mereka cuma melihat tidak melakukan apa-apa.
Bersegeralah 'Abdul-Muththalib menaiki kendaraannya, maka ketika kendaraannya menekan tanah lalu terpancarlah air dari bawah kakinya mata air yang rasanya tawar. 'Abdul-Muththalib bertakbir dan bertakbir pula teman-temannya. Kemudian beliau turun dan minum lalu minum pulalah teman-temannya, mereka memenuhi tempat-tempat air mereka dan memberi minum tunggangan tunggangan mereka.
Kemudian beliau memanggil kabilah dari Quraisy, lalu berkata: "Kemarilah kepada air, Allah telah memberi kita minum, minumlah kalian dan beri minumlah tunggangan-tunggangan kalian". Maka merekapun datang untuk minum dan memberi minum tunggangan-tunggangan mereka, kemudian berkata: "Allah telah memutuskan perkaranya untukmu atas kami wahai 'Abdul-Muththalib, demi Allah kami tidak akan mengganggumu terhadap zamzam selamanya. Sesungguhnya yang memberimu air di gurun ini adalah dia yang memberimu minum zamzam. Maka pulanglah kepada air minummu itu dan jadilah sebagai penunjuk jalan!" Maka beliau pulang dan mereka pun pulang bersamanya. Dan tidak jadi menemui dukun, dan menjadi tenteramlah mereka antara beliau dan zamzam.
3. Nazar 'Abdul-Muththalib
'Abdul-Muththalib pernah bernadzar ketika sumur zamzam telah disepakati sebagai hak baliau, bahwa kalau anak lelakiku sudah genap 10 orang dan mereka sudah baligh semua dan dalam keadaan bisa membelaku maka akan aku korbankan salah satu dari mereka sebagai rasa syukurku kepada Allah.
Nadzar ini lantaran waktu itu anak 'Abdul-Muththalib hanya Al-Harits, sementara beliau merasa kurang kuat jika hanya punya satu anak lelaki, terlebih di zaman jahiliyyah, memiliki anak lelaki merupakan suatu kebanggaan apalagi kalau jumlahnya mencapai 10 orang, tentu luar biasa bangganya.
Nadzar tersebut pun dikhabarkan kepada anak-anaknya dan mereka semua menerima dan ta'at. Maka masing-masing menulis namanya sendiri-sendiri, setelah itu digulung pada anak panah yang tidak ada ujung tajamnya dan tidak ada bulu-bulunya, untuk kemudian diundi di depan patung Khubal.
Abdul-Muththalib berharap moga-moga bukan nama 'Abdullah yang keluar, sebab 'Abdullah adalah anak bungsu yang sangat disayanginya. Tapi begitu anak panah itu dicabut ternyata yang keluar adalah nama 'Abdullah.
Dengan tidak membuang waktu 'Abdul-Muththalib pun langsung membawa 'Abdullah ke berhala Isaf dan Nailah (dua berhala yang konon katanya dua sejoli yang pernah berzina di sisi Ka'bah) letak berhala Isaf dan Nailah ini di sisi sumur zamzam, 'Abdul-Muththalib membawa 'Abdullah ke sana untuk disembelih, namun teman-teman 'Abdullah berteriak agar itu jangan dilakukan, lalu orang-orang berkumpul dan menasehati 'Abdul-Muththalib.
Wahai 'Abdul-Muththalib apa yang akan kau lakukan dengan pisau dan anakmu itu, janganlah engkau menyembelih anakmu, jika engkau melakukannya nanti orang-orang akan menirumu sehingga mereka juga menyembelih anak-anak mereka, lalu habislah generasi kita lalu kita akan menjadi kaum yang lemah.
Orang-orang mengusulkan, bagaimana kalau kita mendatangi seorang dukun untuk dimintai pendapatnya, seandainya demi membebaskan 'Abdullah memerlukan tebusan maka kami siap untuk memberikan harta-harta kami untuk menebusnya. Abdul-Muththalib pun setuju.
Lumayan jauh perjalanan menuju rumah si dukun yaitu di Hijaz, menurut kabar bahwa dukun ini punya khadam (jin pembantu) yang ampuh, begitu rombongan tiba, mereka menyampaikan hajatnya, begini dan begini. Dukun berkata, sekarang pulanglah kalian dan datang kemari setelah tiga hari.
Tiga hari kemudian di rumah dukun. Dukun bertanya, berapa diyat (tebusan) 1 orang nyawa di antara kalian? Rombongan menjawab 10 ekor unta. Baiklah, undilah temanmu itu dengan 10 ekor unta di hadapan tuhan kalian, jika masih nama dia yang terpilih, maka tambahkan 10 ekor unta lagi, sampai nama unta yang terpilih.
Pengundian dilakukan di depan patung Khubal antara 'Abdullah dan 10 ekor unta. Sebelumnya 'Abdul-Muththalib berdo'a langsung kepada Allah agar yang terpilih bukan 'Abdullah. Ini merupakan kebiasaan kaum jahiliyyah kalau di saat genting dan terdesak mereka langsung berdo'anya kepada Allah saja tanpa perantara, karena mereka meyakini bahwa Allah sebagai Tuhan besar mereka. Sementara berhala-berhala itu menurut mereka adalah tuhan-tuhan kecil yang disembah sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
Undian pertama nama 'Abdullah yang terpilih, lalu ditambahkan lagi 10 ekor unta sehingga berjumlah 20 ekor. Undian kedua antara 'Abdullah dan 20 ekor unta, namun lagi-lagi 'Abdullah yang terpilih. Undian ketiga sampai undian yang kesepuluh, masih nama 'Abdullah yang terpilih hingga genap menjadi 100 ekor unta.
Undian kesebelas tulisan 100 ekor unta yang keluar, berarti 'Abdullah bebas, namun ada riwayat yang mengatakan bahwa 'Abdul-Muththalib waktu itu masih ragu, apakah Allah sudah ridha apa belum, lalu dia minta untuk diundi lagi, dan sampai 3 kali pengundian tetap tulisan 100 unta yang keluar. Akhirnya 'Abdul-Muththalib puas karena yakin bahwa Allah telah ridha. 100 ekor unta itupun disembelih semuanya di sisi Ka'bah dan bangkainya dibiarkan begitu saja, tidak untuk makan.
Diyat 100 ekor unta kemudian hari disetujui oleh Rasulullah 'alaihish-shalatu was salam, yakni sebagai tebusan bagi orang yang telah membunuh 1 orang.
4. Menhadapi Abrahah
Ketika Abrahah hendak menghancurkan Ka'bah, Abrahah dihadang oleh kabilah demi kabilah, namun semua kabilah yang menghadangnya kalah. Sehingga sempat pasukan Abrahah merampas harta milik warga Mekkah yang di antaranya 200 ekor unta milik 'Abdul-Muththalib.
Abrahah bertanya tentang siapakah tokoh pembesar kota Mekkah? Seseorang menjawab dia adalah 'Abdul-Muththalib. Baik, jemput dia ke sini. Berangkatlah seseorang tadi menemui 'Abdul-Muththalib. Wahai pembesar Quraisy, engkau diminta Tuan Raja untuk menghadap dan aku diutus untuk menjemput engkau dengan segala hormat.
Datanglah dua orang ini untuk menghadap Abrahah, Abrahah terpukau melihat Abdul-Muththalib yang sangat berwibawa, ingin sekali Abrahah mengajaknya untuk duduk berdua di singgasananya, namun khawatir banyak yang protes, akhirnya Abrahah memilih turun dari singgasana dan duduk bersama 'Abdul-Muththalib.
Abrarah berkata, kedatanganku di Mekkah ini bukan untuk memerangi kalian, kedatanganku hanya untuk menghancurkan ka'bah. Jika kalian tidak menghalangi kami maka kalian akan aman. Abdul-Muththalib menjawab, dan kami pun tidak punya kemampuan untuk menghadapi tentara kalian, aku mendatangimu sekalian ingin mengambil 200 ekor untaku yang kalian ambil. Abrahah keheranan, tadinya aku kagum pada wibawamu, aku mengira engkau datang sebagai wakil warga Mekkah untuk membela Ka'bah, tapi nyatanya engkau hanya malah menanyakan unta-untamu itu.
'Abdul-Muththalib menjawab, aku hanya rabbul-ibil (pemilik unta) tentulah aku akan membela unta-untaku sedangkan ka'bah maka ada rabbnya dan tentulah Allah yang akan membelanya dari serangan kalian. Abrahah menaikkan suaranya, kalau itu yang engkau mau ambillah 200 ekor untamu itu dan sekaligus aku bayarkan hutang-hutang nenek moyangmu, karena Allah tidak mungkin untuk menghalangiku.
Pulanglah 'Abdul-Muththalib dengan membawa 200 ekor unta miliknya dan menghimbau warga mekkah untuk naik ke atas bukit guna menghindari mala petaka, sambil menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh tentara bergajah dan apa yang Allah balas terhadap perbuatan mereka.
Datanglah burung-burung dari arah laut, yang masing-masingnya membawa tiga batu, dua batu di kakinya dan satu batu di paruhnya. Lalu melempari tentara bergajah sehingga sebagian besar di antara mereka binasa, dan Abrarah pun terbunuh dalam peristiwa itu. Peristiwa yang menakjubkan, yang membuat orang-orang yang menyaksikannya tidak dapat untuk melupakan.
5. Memelihara Muhammad 'alaihish-shalatu was-salam
Ketika 'Abdullah bin 'Abdul-Muththalib meninggal dunia maka Aminah tetap tinggal di Mekkah di bawah penjagaan mertuanya 'Abdul Muththalib. Setelah Aminah melahirkan maka diberitahu kepada 'Abdul-Muththalib bahwa anakmu telah lahir, masya Allah padahal cucu, namun disebut sebagai anak lantaran ayah beliau telah wafat sehingga Muhammad 'alaihish-shalatu was salam diposisikan sebagai anak beliau.
'Abdul-Muththalib mencarikan ibu susu untuk cucunya Muhammad 'alaihish-shalatu was-salam, dan beliau mendapatkan Halimah As-Sa'diyyah. Selama 4 tahun bersama Halimah, lalu Muhammad 'alaihish-shalatu was-salam dikembalikan kepada ibunya Aminah. Sampai usia 6 tahun ibunya wafat, maka pemeliharaan digantikan oleh 'Abdul-Muththalib.
Pernah suatu hari Muhammad 'alaihish-shalatu was-salam duduk di kursi 'Abdul-Muththalib yang ada di sisi Ka'bah, kursi yang jangankan orang lain, anak-anak beliau saja tidak berani untuk duduk di situ, melihat yang demikian lalu paman-pamannya melarang dan mengisyaratkan untuk turun dari kursi tersebut, namun ketika 'Abdul-Muththalib datang, beliau menegur mereka dengan mengatakan: "Biarkan anakku berada di tempat dudukku, sungguh dia tahu tempat yang pantas baginya, demi Allah dia memiliki perkara yang besar".
Masuk usia 8 tahun, Abdul-Muththalib wafat dan beralih kepada pemeliharaan Abu Thalib sesuai dengan wasiat beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar