Selasa, 03 Januari 2017

Mengapa Ulama Berbeda Pendapat? (Pertemuan 62)

"Kalau begitu, mengapa ulama berbeda pendapat?" Ini merupakan suatu alasan jitu bagi segelintir manusia yang merasa tidak bersalah dalam menjelaskan agama ini melalui cara yang mereka sebut sebagai tadabbur Al-Qur'an maupun Al-Hadits, yakni tadabbur yang diartikan memikirkan dan mempertimbangkan serta merenungi. Tadabbur memang merupakan suatu metode untuk memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits serta mendalami keduanya, namun tadabbur di sini memiliki kaedah-kaedah baku yang diterapkan oleh ulama tafsir dan para pensyarah.

Kalau ulama bisa berbeda pendapat itu tidak aneh, tapi yang aneh sebenarnya seseorang yang tidak mengerti bahasa arab tiba-tiba berani untuk berbeda pendapat dengan para ulama. Ulama berbeda pendapat tentunya setelah mereka menerapkan seperangkat disiplin ilmu yang berkenaan dengannya.
Man fassaral-qur'aana bi-ra'yihi faqad akhtha'a walau ashaaba, "Barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan akalnya maka sungguh dia telah salah walaupun kebetulan benar", karena bisa jadi dalam satu hal penafsirannya cocok dengan penafsiran para ulama akan tapi siapa yang bisa menjamin untuk hal-hal yang berikutnya dia tidak menyimpang?

Perbedaan pendapat di kalangan ulama sebenarnya sangat sedikit namun kerapkali ia dibesar-besarkan oleh mereka-mereka yang belum terbimbing oleh nasehat-nasehat yang berharga bagi para penuntut ilmu. Oleh karenanya diserukan kepada kaum muslimin untuk tidak mempermasalahkan perbedaan dari segi tata cara pelaksanaan suatu ibadah selama masih dalam koridor empat imam madzhab yang teguh berpegang pada dalil yang shahih.

Janganlah kita terlalu berani untuk menafsirkan Al-Qur'an atau mensyarh Al-Hadits dengan hanya berdasarkan pengalaman pribadi dan kitab terjemahan. Bukankah sudah ada kitab-kitab tafsir dan syarh-syarh hadits karya ulama kita yang memang ahli pada bidangnya yang dapat kita pelajari.

Sesungguhnya kesesatan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pemahaman-pemahaman yang ditentang oleh beliau shallallahu 'alaihi wa sallam seperti paham Qadariyah yang menyatakan bahwa Allah Ta'ala tidak menaqdirkan, sehingga beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan bahwa: "Qadariyah itu adalah majusinya ummat ini" Disebut begitu karena majusi penyembah api menyakini bahwa ada selain Allah Ta'ala yang menciptakan perbuatan-perbuatan mereka, adapun Qadariyah meyakini bahwa merekalah yang menciptakan perbuatan mereka sendiri.

Sesungguhnya kesesatan di zaman para shahabat adalah keyakinan-keyakinan yang menyelisihi akidah para shahabat radhiyallahu 'anhum, seperti kaum khawarij dan syi'ah yang tidak berada di barisan para shahabat radhiyallahu 'anhum.

Dan sesungguhnya kesesatan di zaman para imam madzhab adalah keyakinan-keyakinan yang tidak bersesuaian dengan akidah para imam madzhab rahimahumullah seperti Mu'tazilah, Jabriyah, 'Asya'irah, Maturidiyah, Karramiyah, Kullabiyah, Rafidhah, Filsafat, Tashawwuf, Tariqat dan aliran-aliran yang lainnya.

Perbedaan dalam perkara ushul/ pokok/ manhaj dan akidah tidak diperkenankan di dalam Islam, jadi perkataan: "Mengapa ulama berbeda pendapat" semoga tidak ditujukan kepada perkara ini. Kalau ternyata yang dimaksudkan adalah perkara ini maka jawabannya adalah ketika manusia sudah memakai cara-cara di luar cara-cara sunnah dalam memahami agama ini seperti halnya metodologi filsafat maka akan muncullah berbagai macam pernyataan-pernyataan yang nyeleneh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar