Jumat, 13 Januari 2017

Sebelum Bilang Orang Lain Bodoh (Pertemuan 73)

Jahil adalah lawan dari kata ilmu, jika seseorang tidak mengilmui sesuatu maka berarti dia jahil terhadap sesuatu itu. Namun dalam beberapa kasus istilah jahil ini cukup mengundang perhatian, sehingga karenanya para ulama menyempatkan diri untuk membahasnya di dalam kitab-kitab karya mereka baik itu tentang akidah maupun fiqih.

Untuk pendekatan, mari kita mengingat kembali kisah di zaman jahiliyyah. Istilah "Jahiliyyah" telah disematkan kepada suatu kaum yang mereka sebenarnya mengerti bahwa Allah Jalla fi 'ulah adalah Rabbul-'aalamiin, Pencipta, Pengatur dan Penguasa alam semesta, mengerti bahwa Allah Jalla fi 'ulah 'alaa kulli syai'in qadiir, atas segala sesuatu Maha Mampu, namun di saat yang sama mereka justru membuat tandingan-tandingan selain Allah Jalla fi 'ulah dalam hal peribadatan, mereka malah bertawakkal kepada patung Khubal, mencari berkah di kuburan Lata, meminta pertolongan di pohon 'Uzza dan menyembelih qurban di batu Manah.

Mereka melakukan perbuatan itu lantaran alasan: "Kami tidak menyembah mereka tapi kami hanya menjadikan sesembahan-sesembahan kami ini agar lebih mendekatkan diri-diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya". Ketika ditanya dari mana kalian tahu cara-cara seperti itu? Mereka menjawab: "Karena kami mendapati bahwa bapak-bapak kami melakukannya maka kami pun melakukannya". Allah Jalla fi 'ulah, Rabb yang Maha Mengetahui menyanggah alasan mereka: "Apakah kalian tetap mengikuti nenek moyang kalian meskipun mereka adalah kaum yang tidak mendapatkan petunjuk?". Ini adalah suatu bantahan bahwa perbuatan mereka bukan cara-cara yang tepat dalam beribadah kepada Allah Jalla fi 'ulah bahkan merupakan suatu kesyirikan yang dimurkai-Nya.

Jadi mereka disebut jahil karena beribadah kepada selain Allah Jalla fi 'ulah dalam keadaan mereka tahu bahwa Allah Jalla fi 'ulah adalah Rabbul-'alamin. Mereka beribadah kepada yang bukan menciptakan mereka, kepada yang bukan menciptakan hal-hal yang mereka inginkan, yakni yang bukan mengabulkan permintaan-permintaan mereka.

Ulama membagi jahil itu menjadi dua yaitu jahlun dan jahlaini, jahlun adalah apabila seseorang memang tidak mengetahui sesuatu, dia belum pernah mempelajarinya atau sama sekali belum pernah mendengarnya, orang ini meskipun dia jahlun maka janganlah sampai dijahlun-jahlunkan, karena kita juga banyak yang belum kita ketahui. Adapun jahlaini adalah jahlun kuadrat alias jahlun pangkat dua, orang ini telah sampai padanya nasehat, telah terang baginya dalil namun masih juga ingkar.

Kasus zaman dan kaum jahiliyyah mencakup dua model jahil ini, di mana Rasulullah 'alaihish-shalatu was-salam diutus kepada mereka untuk memberitahu mereka, menunjuki mereka dan mengajarkan kepada mereka, bagi yang mau mengambil pelajaran maka mereka masuk Islam dan bagi yang tidak mau mengambil pelajaran maka mereka membangkang.

Sekarang kita melirik kepada dunia perpolitikan yang ada di negeri kita, di mana para caleg berlomba-lomba untuk meraih banyak suara, mencari banyak pendukung yang bertujuan agar para caleg itu di dalam pemilu bisa menang, terpilih, mendapatkan kursi dan menjadi pejabat.

Pada saat kampanye tidak sedikit yang memakai politik belah bambu, di mana seseorang diangkat setinggi-tingginya dan seseorang yang lain diinjak, direndahkan serendah-rendahnya. Pada saat kampanye para caleg itu begitu baik, ringan tangan, mudah membantu, dermawan, di mana ada pernikahan maupun kematian maka di situ mereka hadir. Pada saat kampanye para caleg itu mengiming-imingi masyarakat dengan perkataan: "Kalau saya terpilih maka saya akan bla-bla-bla-bla...". Tapi begitu para caleg tersebut benar-benar terpilih, maka yang terjadi malah bertolak-belakang dengan apa yang pernah diucapkan oleh bibir manisnya, bertolak-belakang dengan apa yang pernah dilakukannya, setelah itu baru masyarakat sadar telah dikibuli. Sampai di sini kita masih maklum, tapi yang mengherankan setiap hendak pemilu masyarakat termakan lagi dengan rayuan gombal para caleg, begitu para caleg terpilih, maka masyarakat kecewa lagi dan lagi, lantas sampai kapan terus-menerus dikibuli, tidak jera-jera dijadikan permainan oleh para pengibul? Adalah wajar kalau kita dikibuli baru sekali lantaran kita masih jahil tapi menjadi aneh kalau masih tetap percaya padahal sudah dikibuli berkali-kali, maka ini masuk jahlun kuadrat namanya.

Kita sentil sedikit soal iptek, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketika didapati bahwa masih banyak masyarakat yang gaptek, gagap teknologi maka muncullah statement: "Musuh utama bangsa ini adalah kebodohan dan kemiskinan", yang mereka maksud sebenarnya adalah gaptek. Nyaman sekali mereka bilang bangsa ini bodoh hanya gara-gara masalah gaptek, padahal banyak juga yang gaptek tapi malah sukses dan kaya raya.

Orang yang bilang bangsa ini bodoh sebenarnya maksudnya adalah mudah dibodoh-bodohi, karena kalau saja bangsa ini sudah pintar-pintar semua maka trik-trik para politikus akan mudah diketahui dan bakalan tidak laku lagi di pasaran. Sesungguhnya pandai dalam iptek dan hidup mewah bukanlah patokan bahwa seseorang tidak boleh disebut bodoh karena orang yang layak disebut bodoh adalah tatkala dia makin jauh dari ajaran agama.

Mari kita lihat sejarah, secara rata-rata mana yang lebih kaya antara kaum jahiliyyah dengan para shahabat? Jawabannya adalah rata-rata kaum jahiliyyah lebih kaya sedangkan rata-rata para shahabat hidup dalam kemiskinan. Para shahabat meskipun punya pakaian seadanya, kadang makan dan lebih sering lapar, namun tidak ada yang menyebut mereka jahiliyyah, karena kebodohan yang menyebabkan seseorang boleh disebut bodoh adalah ketika seseorang itu sudah mengetahui bahwa menipu itu dosa, menipu itu akan menghancurkan karier, menipu itu bisa memutuskan jalinan persahabatan tapi tetap saja suka menipu. Bangsa yang gaptek tidaklah layak disebut sebagai bangsa yang bodoh apalagi sampai dibodoh-bodohi, karena orang yang berhak disebut bodoh adalah tatkala dia sudah berani membodohi dirinya sendiri, itulah Abu Jahlain, Bapak Bodoh Kuadrat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar