Senin, 09 Januari 2017

Mengapa Belajar dari Hewan? (Pertemuan 67)

Tadabbur alam, merenungi ciptaan Allah Ta'ala memiliki suatu hikmah yang di antaranya semakin mendekatkan kita kepada-Nya, bahwa kokohnya gunung, dahsyatnya tsunami, luasnya cakrawala, menunjukkan keagungan Sang Pencipta, sementara kita selaku manusia belum mampu untuk memindahkan gunung, belum mampu untuk melawan tsunami dan belum mampu untuk menjelajahi cakrawala, menunjukkan betapa lemahnya kita di hadapannya. Sehingga saat ruku' kita mengucapkan "Subhaana rabbiyal-azhiimi wa bihamdih" sebanyak 3-10x, "Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya". Sehingga pula saat sujud kita mengucapkan "Subhaana rabbiyal-a'laa wa bihamdih" sebanyak 3-10x, "Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Tinggi dan segala puji bagi-Nya". Allah Ta'ala yang Maha Agung menunjukkan betapa kecilnya kita di hadapannya, Allah Ta'ala Maha Tinggi menunjukkan betapa rendahnya kita. Demikianlah sikap yang semestinya kita lakukan saat tadabbur alam.

Tadabbur alam yang diajarkan dalam syari'at ternyata disimpangkan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggung-jawab, mereka mengajarkan kepada orang-orang untuk mencontoh perilaku hewan bahkan terhadap hewan yang najis sekalipun. Mereka bilang bahwa anjing itu tulus sama tuannya, tidak seperti kebanyakan sales yang selalu ada maunya, berteman hanya untuk menjual barang, oleh karena itu kalau mau sukses maka jadilah seekor anjing terlebih dulu. Ajaran macam apa ini? Menjadikan hewan sebagai uswah (teladan) baginya? Bukankah uswah kita adalah para nabi dan orang-orang shalih? Lantas mengapa kita terlalu menyibukkan diri untuk mengambil uswah dari makhluk yang tidak mempunyai akal? Akankah perbuatan itu menunjukkan kehinaan diri kita di hadapan hewan-hewan?

Allah Ta'ala menciptakan sapi supaya membantu manusia mengangkut barang-barang, membajak sawah dan disembelih untuk dimakan. Lantas mengapa sapi itu malah dianggap suci bahkan disembah sebagaimana peribadatan orang-orang di India? Lantas mengapa sapi itu dikeramatkan dan dimintai berkah sebagaimana peribadatan orang-orang di Solo? Mengapa manusia sampai mau-maunya menghinakan diri mereka di hadapan seekor sapi, akankan mereka lebih parah hinanya dari makhluk yang bernama sapi? Bukankan di zaman Nabi Musa 'alaihis-salam ada seseorang yang bernama Samiri yang membuat patung anak sapi yang terbuat dari emas agar disembah oleh manusia? Padahal tidak sekali-kali Nabi Musa 'alaihis-salam mengizinkan Samiri untuk melakukan perbuatan terkutuk itu?

Telah ada pada Nabi Ibrahim alaihis-salam teladan yang baik bagi kita, telah ada pada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam teladan yang baik bagi kita. Ada yang bilang bahwa "kita tidak bisa meniru nabi, nabi itu kalau shalat kakinya sampai bengkak-bengkak, nabi itu saat dilempari batu sabar bahkan mendo'akan hidayah bagi orang-orang yang melemparinya". Kalau nabi tidak bisa ditiru lantas kita shalat niru siapa, apa niru onta? Mbok ya mikir sebelum ngomong. Para nabi itu dalam berdakwah selalu memulai ajakannya kepada tauhid, kepada kalimat yang sama, yaitu tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah. Oleh karenanya duhai para du'at, da'i-da'i untuk meniru para nabi dalam memulai dakwah, kan begitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar